Namanya Reno

10 6 11
                                    

Gumpalan awan kelabu masih setia berkumpul di langit. Sesekali kilat menyambar seiring meningkatnya intensitas air hujan. Minggu pagi yang dingin dan membosankan.

Tapi, bukan itu yang menjadi fokus Echa sekarang. Remaja 14 tahun itu tengah berdiri dekat jendela, manik hitamnya mencari-cari sesuatu.

“Kemana dia?” tanyanya bermonolog.

Ah, entah sejak kapan Echa punya kebiasaan kepo. Ada rasa penasaran yang besar menghantui hatinya. Semua ini berawal sejak mereka punya tetangga yang pindah ke samping rumah Echa sekitar 3 minggu yang lalu.

Sebenarnya, Echa tidak terlalu tertarik dengan tetangga barunya itu, ia tak pernah berkunjung meski ibu selalu mengajak. Alasannya cukup sederhana.
Hujan.

Dara itu tidak suka hujan atau lebih tepatnya, phobia hujan. Aneh bukan? Di saat orang-orang bersuka-cita menanti datangnya rahmat Tuhan, ia malah meringkuk ketakutan di dalam rumah. Bergelung dengan selimut tebal, berusaha menghindar dari bunyi berisik dari tetesan air yang menyentak genteng.

Intinya, kalau sudah musim hujan maka mood Echa akan berubah drastis. Namun ia bingung kenapa Reno-anak tetangganya malah tampak menikmati hujan. Jelas itu menjadi pertanyaan besar bagi Echa. Ia sering mengamati diam-diam. Awalnya sih, cuma iseng, kemudian berubah menjadi sering.

Menurut Echa, kebiasaan Reno yang suka berdiri di halaman rumah saat hujan itu agak ganjil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menurut Echa, kebiasaan Reno yang suka berdiri di halaman rumah saat hujan itu agak ganjil. Terkadang, pemuda itu akan berdiam diri cukup lama sambil menengadahkan sebelah tangannya. Tetapi, Echa tidak pernah mengetahui seperti apa wajahnya karena selalu terhalang tanaman di dekat rumah. Namun, hari ini anak laki-laki seumuran dengannya itu tak juga menampakkan batang hidungnya.

“Kalau Echa penasaran, kenapa nggak langsung disamperin?” tanya Ibu yang ternyata juga memperhatikan gerak-gerik putrinya dari tadi.

Kepala Echa menggeleng. “Enggak ah.”

Ibu hanya tersenyum kecil. “Anaknya baik lho. Istimewa,” ujarnya sambil memotong wortel.

Salah satu alis Echa terangkat, ibunya sering menyebut kata istimewa ketika membahas anak tante Lisa tersebut.

“Maksudnya, Bu?” tanya Echa menoleh. Lagi-lagi pertanyaannya direspon lewat senyuman.

“Echa gak akan berani keluar, Bu. Apalagi di musim hujan begini. Dia 'kan kambing. Hahaha!!” Denis tergelak menyaksikan wajah adiknya yang seolah siap memuntahkan lava panas.

“Sudah-sudah. Lebih baik kalian bantu Ibu.” Berkacak pinggang, Ibu melototi kedua anaknya.

Denis dan Echa langsung terdiam, walau perdebatan masih berlangsung dalam hati mereka masing-masing.
***
“Ada yang bisa tolong Ibu anterin ini ke rumah tante Lisa?” Ibu datang dari dapur sambil membawa semangkuk sup ayam.

Echa yang sedang menonton tv terperangah sejenak, sedangkan Denis langsung menyumbat telinganya dengan earphone.
“Cha?” panggil ibu.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang