Jujur, aku tidak terlalu paham siklus perasaan. Bagaimana ia berawal kemudian berkembang. Mungkin karena aku lebih sering menggunakan logika dan sibuk bermesraan dengan buku-buku di perpustakaan, sehingga ketika rasa mulai menghampiri, aku tak punya cukup ilmu untuk menyikapi.
Namanya Vio. Kami sekelas. Dia tinggi dan tampan--begitu menurut teman-temanku. Bisa dibilang, Vio adalah salah satu bintang sekolah bertabur prestasi. Entahlah. Aku kurang update masalah semacam itu. Toh, nilai akademik lebih penting. Sampai hal menyebalkan yang tidak pernah kuinginkan terjadi.
****
Dua minggu ini ada yang berbeda. Maksudku, rutinitas yang kujalani sedikit kacau.Awalnya kuanggap sebagai sesuatu yang biasa. Kau tahulah, mengerjakan PR bersama, pergi dan pulang sekolah bersama-sama, hang out dan sebagainya. Teman sekelas memang begitu ‘kan?
Hampir setiap hari, Vio akan mengajakku belajar bersama. Entah itu di perpustakaan, di kelas ataupun taman. Dia juga seringkali mentraktir di kantin.
Namun, ketika itu berkelanjutan. Aku simpulkan bahwa perlakuannya memang agak aneh. Apakah hanya kami berdua?
Tentunya tidak. Melin sahabatku sering ikut serta.
Terkadang, aku selalu bertanya-tanya apa yang membuat Vio repot-repot mengorbankan waktu dan tenaganya? Tak jarang pula berspekulasi kalau ada yang salah dengan sistem saraf pemuda tersebut.
Haha! Padahal sebelum-sebelumnya aku dan dia tak pernah dekat, bertegur sapa pun jarang.
“Jangan-jangan, Vio suka sama kamu Zi?” tebak Melin suatu hari.
Impossible!
Apa sih yang dapat dibanggakan dari Zizi? Bila dinilai dari segi fisik, harusnya Vio menyukai Melin yang memang punya tubuh impian tiap cewek. Bukannya triplek sepertiku! Dan jikalau yang dicarinya adalah perilaku yang baik, tentu aku kalah jauh. Melin lebih dan lebih lemah lembut serta peka. Aku? Tak ada yang kucintai selain ilmu pengetahuan.
“Apa yang kau rasakan saat berdekatan dengan Vio? Apakah ... jantungmu seperti mau melompat?!” Melin sialan, kenapa pula harus bertanya hal remeh?
“Biasa saja.” tanpa sadar telunjuk ini mengusap ujung hidung.
‘Kau mau jadi pinokio?’ inner-ku tertawa menghina. “Akui sajalah, Zi. Semenjak kalian sering bersama, kau punya kebiasaan baru. Diam-diam mengamati orang,” ujarnya diakhiri kerlingan nakal. Seandainya ia nyata, pasti sudah kucekik dari tadi.
Eh, tapi benar juga sih. Akhir-akhir ini, ada masalah dengan detak jantungku. Kadang-kadang berpacu normal, namun ada saat-saat di mana dia berdegup kencang.
“Duh, Zi ... hatimu dari apa sih? Batu? Tidakkah kau lihat kode-kode yang dilancarkan Vio? Mengakulah!” Melin terlihat gemas. Wajahnya semakin manis saat mode kesal.
Aku mengendikkan bahu, “kita lihat saja dulu, Mel. Bila memang benar, maka cepat atau lambat Vio akan mengungkap perasaannya kok.”
Aku tidak boleh berprasangka kilat, karena bisa saja nanti semuanya berbanding terbalik. Ya. aku harus tetap tenang dan bersikap normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Short Story"Orang bilang, hidup adalah sebuah perjalanan. Yang akan menuntunmu menuju berbagai kenangan. Segala hal yang nantinya dapat membuatmu tertawa bahagia atau malah menangis didekap duka. Namun, keputusan akhir tetap ada di tanganmu. Apakah harus men...