Nafasku tercekat. Kurang lebih lima belas menit berlarian memburu keramaian bandara. Aku tidak mau tiket ini hangus hanya karena terlambat datang. Aku tak terlalu memperhatikan ekspresi mama. Samar-samar kudengar, ia sempat menyuruh hati-hati. Ah, mama selalu begitu! Masih saja menganggap 'Malik' sebagai anak kecil yang harus diwaspadai.
Brukk!Semua mata tertuju padaku. Seketika itu pula langsung menjadi pusat perhatian. Andai boleh mengutuk, petugas kebersihan akan kusihir menjadi kodok. Lantai ini terlalu licin, tidak cocok untuk orang terburu-buru.
"Hati-hati, Dek!" Salah satu petugas menghampiri. Wajahnya antara iba dan menahan tawa. Wajahku langsung memanas, menahan malu.
Buru-buru kuraih koper. Bergegas menariknya ke ... entahlah apa nama ruangan ini. Sebelum memasuki, dua petugas cengar-cengir menyambut.
"Dek, laki-laki diperiksa di sini! Di situ khusus perempuan," ucap petugas lelaki sambil menunjuk ke arahnya.
Luka lama belum sembuh, muncul luka baru lagi. Ya Tuhaaaan, apa dosaku?
***
Bolak-balik kulirik turis di sampingku. Rambutnya pirang, kulit putih, sempat kulihat matanya berwarnya kebiruan. Entah itu lensa atau apa. Dia benar-benar manis.
Jemari lentiknya sibuk menceritakan keindahan Surabaya. 'Mbak, seharusnya kau tahu, selain Surabaya, Tuhan juga menciptakan keindahan lain. Mau tahu? Bercerminlah!'
"Are you okay?" Dia menatap intens. Wajahku langsung memanas, tertangkap basah sedang senyum-senyum memperhatikannya. Awww! Ceroboh!
Aku lekas menggeleng. Buru-buru membuang pandang ke sembarang arah. Kenapa pagi ini sudah tiga rasa malu menghampiri? Came on, Malik! Ini perjalanan pertama tanpa orang tua. Seharusnya bisa menciptakan momment indah yang bisa dipamerkan.
Petugas informasi bandara mengumumkan lima belas menit lagi, pesawat lion air akan lepas landas. Koper dan tas punggung sudah teronggok siap. Beberapa menit lagi keberangkatan, tapi turis Rusia ini kembali sibuk dengan laptop. Itu artinya, ia bukan menuju Borneo.
Satu persatu penumpang sudah berdiri, bersiap menarik koper menuju badan pesawat. Aku pun berdiri. Segera menjinjing tas.
"Good bye!"
Langkahku terhenti. Aku sampai tengak-tengok memperhatikan sekitar. Turis Rusia itu tersenyum seraya melambaikan tangan. Tepat ke arahku!
"See you!" Balasku.
Ah, jika tidak malu, rasanya aku ingin meloncat.
***
"Bagaimana perjalananmu tadi, Lik?" Mbak Khazima menaruh jahe hangat di meja. Lantas ikut duduk, membantuku menyimpun baju ke lemari. Sebenarnya dia adik ayah yang seharusnya kupanggil dengan sebutan 'Bibi'. Rasanya kurang sreg saja, lebih enak 'Mbak'. Toh, umur kami hanya terpaut 7 tahun.
"Anu ... hm, biasa aja sih," jawabku datar.
"Biasanya, kamu selalu kepleset di bandara. Kalau tadi, enggak, 'kan?"
Deg!
Aku langsung melirik Mbak Khaz. "Ah, itu kan dulu. Malik sudah menjadi pria dewasa. Nggak mungkin jatuh terus,"
Dalam sejarah penerbangan selama ini memang begitu kenyataannya. Kerap kali aku terjatuh. Jangankan berlarian seperti pagi tadi, jalan santai juga pernah jatuh. Entahlah, barangkali bandara mempunyai dendam khusus padaku.
"Opo? Pria dewasa? Heh, ngawur! Tahun lalu aja kamu masih ngompol." Mbak Khaz menyunggingkan senyum sinis.
"Ora, Mbak. Ojo nggae fitnah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Double AM
Teen FictionSMA Abata. Salah satu sekolah swasta terkemuka di Borneo. Sekolah bergengsi ini hanya menerima siswa dalam dua kategori; kaya atau cerdas. Cerdas yang ku-maksud di sini bukan cerdas ecek-ecek. Dewan sekolah akan meneliti nilai raport sejak TK. Aku h...