Pelatihan

18 6 0
                                    


Aku mengekor langkah mbak Khaz yang terlihat gusar. Satu-dua siswi berseragam batik putih-coklat dengan rok terusan abu-abu, menyapa. Hanya disambut anggukan kecil. Sesekali, malah tidak digubris.

“Lik, kamu lurus saja ke depan, ya! Nanti, langsung ambil nomor antre. Mbak mau ke toilet dulu.”

Aku bergegas mengikuti instruksi. Di sana sudah berdiri gerombolan anak se-usiaku, yang juga mengenakan pakaian bebas. Bersikap centil, menggoda kakak kelas yang seliweran.

406. Begitulah angka yang tercantum. Tertulis jelas; angka dan logo Abata. Langkahku segera menuju bangku kosong di pojok kanan. Duduk bersebelahan dengan gadis berkulit coklat, hidung mungil, rambut dikuncir sembarang. Merasa tak enak dipandang tanpa ekspresi, aku tersenyum. Dia balas memutar bola mata, lantas, membuang pandang. Sombong!

Riuh rendah obrolan seketika senyap. Berbarengan dengan itu, muncul rombongan berseragam. Sama persis dengan yang dikenakan mbak Khaz.

“Selamat datang calon-calon orang sukses! Terima kasih sudah menjadikan SMA Abata—“ suara MC terhenti. Tiga remaja putri cekikikan seraya berlarian manja menuju kursi kosong.

“Terima kasih sudah menjadikan SMA Abata sebagai tujuan utama sekolah lanjutan. Kalian tentu tahu bagaimana bergengsinya sekolah ini, ‘kan? Tentu ... kalian juga paham apa saja persyaratannya.” Lengannya gemulai, bergerak ke sana-ke mari dengan lincah. Andai ia seorang marketer, produknya pasti laris. Raut wajahnya benar-benar meyakinkan.

“Tentunya, bisa sekolah di Abata bukan perkara mudah.  Mulai hari ini dan tiga hari ke depan, kalian akan menjalani pelatihan. Baju ganti, makan, dan segala keperluan akan ditanggung yayasan. Dengan kata lain, semua fasilitas disediakan dengan gratis. GRA-TIS!” ucapan Mc langsung disambut riuh rendah tepuk tangan. Semua tertarik menyimak, kecuali ... gadis di sebelahku acuh. Menyender, mata tertutup, seolah masa bodoh.

***

Mataku celingukan, mencari nama dalam daftar. Berebut dengan ratusan calon siswa dengan penasaran tinggi. Aku yang tidak terbiasa berebut,  hanya bisa pasrah terjepit. Pengap! Baru sekitar dua puluh menit, papan informasi agak lenggang.
Lorong B, nomor 37.

Gadis yang duduk di sampingku tadi, baru datang. Dia melotot saat tak sengaja mata kami bertemu pandang. Aku bergidik. Tidak ada gunanya juga berselisih dengan wanita dalam siklus PMS.

Mataku meneliti nomor ruangan. Berjalan terus, mencari lorong B. Nafasku sedikit gusar saat mendapati arah panah ke atas tangga. Jauh dari lobi, perlu naik tangga pula. Pembagian kamarnya kurang menyenangkan. Huh!

“Abidzar?”

“Eh, iya.” Aku melongok seisi kamar. Berdiri remaja putra berseragam kembar. Dengan cekatan membuka pintu lebar-lebar.

“Aku Abrar, ini Irham! Salam kenal, Lik,” satu di antara mereka memperkenalkan diri. Aku balas tersenyum.

“Panggil aja Malik,”

“Siap! Antre lama, ya?” Irham tersenyum, menyembulkan lesung pipi. Kulitanya kuning langsat, mata sipit. Kuperkirakan dia asli anak daerah.

“Yaaa, begitulah. Ramai banget. Sampai susah nafas.” aku terkekeh. Menghempaskan pantat ke sisi ranjang.

“Tadi ada dewan sekolah. Katanya; beberapa menit lagi kita kumpul. Bagusnya, kamu mandi dulu. Biar segar,” ia menunjuk handuk yang tergantung di samping lemari.

“Beneran?” Abrar dan Irham kompak mengangguk. Aku hanya bisa mendengus kesal. Semacam sekolah militer saja. Berburu waktu, se-disiplin mungkin.
Aku bangkit, meraih handuk. Baru saja menyentuh air, kudengar obrolan di dalam sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Double AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang