Perihal Cemburu

18 0 0
                                    

"Kok kakak nggak cemburu, sih?"

Lelaki di hadapannya ini masih merengut kesal sejak dua puluh menit yang lalu -mungkin. Masih berkutat dengan topik yang sama, mengapa ia tidak cemburu ketika si lelaki jalan dengan perempuan lain.

"Lho, kenapa gue harus cemburu?"

"Ka-karena aku jalan sama Sarah." Balasnya, sedikit terbata.

Si gadis mendengus remeh. Ingin tertawa tapi tertahan gemas.

"Sekarang gini, maksud lo jalan sama Sarah bolak-balik di depan selasar kayak orang sibuk sendiri tuh apa? Mau bikin gue cemburu?" Cecarnya, tapi tak ada maksud menuduh di sana.

"Ng-nggak gitu, kak. Aku sama Sarah ditunjuk jadi panitia jurusan buat acara kampus nanti." Jelasnya dengan segala kejujuran yang ia punya. "Dan tadi kita bolak-balik buat ngurusin berkas."

"Nah, yaudah!" Si gadis menyergah cepat. "Lo nggak bermaksud bikin gue cemburu, jadi kenapa gue harus cemburu?"

Si lelaki bungkam. Tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya, ia akan merasa senang kalau gadis itu memang cemburu. Cemburu berarti sayang, kan?

Tetapi memang kekasihnya itu kelewat cuek dan ia terlalu berharap. Ah, ia lupa kalau kekasihnya -yang terpaut dua tahun lebih tua darinya- bukan tipe orang yang mudah berkata "Aku cinta kamu" seperti para mantannya terdahulu.

"Gue nggak mau jadi pacar yang overprotective, Lix." Si gadis membuka suara setelah jeda di antara mereka. "Karena gue juga nggak suka dikekang kayak gitu. Gue nggak akan melarang lo untuk deket sama cewek manapun."

Felix, lelaki itu, masih diam menunggu rentetan kalimat yang masih akan keluar dari bibir pacarnya. Tetapi, sejurus kemudian tangannya digenggam dan si gadis melangkah maju. Mendekatkan wajah tepat di sisi telinganya.

"Tapi, gue juga nggak akan diem aja kalo ada yang mau ngerebut lo dari gue." Ucapnya setengah berbisik. Membuat Felix hampir bergidik karena embusan napas yang mengenai kulit telinganya.

Si gadis menjauhkan wajahnya dan menatap Felix lurus tepat di obsidian coklat hazel itu. "Karena lo itu punya gue, ngerti?"

Detik selanjutnya, Felix sadar kalau pipinya telah dikecup singkat. Namun responsnya lambat, tubuhnya masih terpaku di sana. Diliriknya sang kekasih yang tengah tersenyum jahil.

"Balik, yuk! Lo udah nggak ada kelas, kan?" Si gadis menarik pelan tangan yang digenggamnya, memaksa si pemilik untuk bergerak.

"Mending temenin gue ke toko buku. Gue mau-"

Felix tak tahu lagi apa yang diucapkan kekasihnya. Telinganya berdengung. Kejadian tadi terlalu cepat untuk dicerna pikirannya. Bayangan saat gadis itu menatapnya lekat dan mencium pipinya kembali terulang.

Sejurus kemudian, entah sadar atau tidak, pipinya menampilkan rona merah samar. Ah sial, begini saja Felix sudah tidak kuat.

Payah!











Ide cerita yang mana lagi ini Ya Allah hamba pusing

CORETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang