Prolog

83 8 0
                                    

Jakarta, 2015.

Pulang.

Hanya itu yang Luna inginkan saat ini. Matahari sudah pulang ke peraduan dan langit mulai memetang. Namun, gadis itu masih duduk di halte depan sekolahnya. Menunggu bundanya menjemput. Biasanya Luna pulang naik angkot, tapi hari ini ia ada rapat ekstrakurikuler dan terpaksa pulang lebih sore dari biasanya. Maka dari itu ia meminta untuk dijemput. Jam-jam seperti ini angkot sudah jarang lewat di depan sekolahnya. Dan Luna tidak punya pilihan lain selain menunggu bundanya datang.

Drrrtt… drrrtt…

Ponsel Luna bergetar. Layarnya menunjukkan panggilan dari bunda. Luna menghela napas lega, karena sejak satu jam yang lalu ia mengirim pesan, tapi tidak ada balasan. Akhirnya sang bunda menelepon juga. Dengan segera Luna mengangkat panggilan itu.

“Halo, Bunda?”

[Halo, Dek. Bunda ada di bengkel.]

“Hah? Kok di bengkel?”

[Motor Bunda mogok. Tiba-tiba tadi berhenti. Untung aja Bunda nemu bengkel di pinggir jalan.]

“Terus Luna gimana ini, Bun? Angkot juga udah nggak ada yang lewat,” ucapnya khawatir.

[Kamu tunggu Bunda di sana aja. Bentar lagi motornya selesai diperbaiki, kok. Tunggu, ya!]

“Bun––”

Cklek. Tut… tut… tut….

Panggilan sudah diakhiri sedangkan Luna masih belum selesai bicara. Kebiasaan bunda yang tidak Luna sukai; menutup panggilan seenak jidat. Luna mengerang dalam hati. Sampai kapan ia harus menunggu? Langit sudah sepenuhnya petang. Lampu-lampu kios di sepanjang jalan depan sekolahnya sudah dinyalakan. Jam segini biasanya Luna sudah mandi dan bersiap mengerjakan PR untuk esok hari. Tapi kenyataannya saat ini ia masih mengenakan seragam sekolah dan belum sampai di rumah.

Luna menghela napas lelah.

Jalanan di depan sekolah mulai sepi. Tidak begitu macet, mungkin karena orang-orang sudah lelah dan istirahat di rumah. Kios-kios juga ikut sepi, mungkin para pembeli memilih untuk menunda belanja esok hari. Di belahan bumi sebelah sini memang sedang sepi, tapi di belahan yang lain mungkin tidak seperti ini.

Deru suara motor yang bising membuat pandangan Luna yang semula menatap jalanan buyar begitu saja. Ia melihat sebuah motor melintas kemudian berhenti di seberang jalan. Awalnya hanya satu motor, tapi kemudian beberapa motor yang lain ikut-ikutan berhenti. Mata Luna masih terus mengawasi.

“KE SINI LO KALO BERANI!” teriak salah satu pengendara motor itu. Entah, Luna tidak tahu orang itu berteriak pada siapa.

Luna menyipitkan mata, ingin melihat dengan jelas siapa yang baru saja berteriak. Ia baru sadar, para pengendara motor itu mengenakan seragam putih abu-abu yang sama seperti Luna, seragam khas SMA Harapan. Itu berarti mereka satu sekolah dengan Luna.

Seseorang melangkah ke depan. Luna yakin, cowok itulah yang berteriak tadi. Lalu dari arah berlawanan, beberapa motor juga datang. Dari seragam yang mereka pakai, Luna menjadi tahu kalau gerombolan pengendara yang baru datang itu adalah murid SMA tetangga. Mereka adalah murid SMA Pelita.

Sepertinya Luna mengerti. Seseorang yang berteriak tadi adalah murid SMA Harapan yang ditujukan pada gerombolan murid SMA Pelita. Kemudian salah satu murid SMA Pelita yang motornya berada di barisan paling depan bangkit berdiri menghampiri. Sehingga saat ini ada dua orang dari dua kubu yang berbeda sedang berbicara. Luna tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, Luna bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Benar saja, tanpa menunggu waktu lama, saat keduanya masih berbicara, salah seorang dari SMA Pelita melemparkan balok kayu ke depan hingga mengenai salah satu dari SMA Harapan. Refleks, Luna kaget. Karena tidak menyangka akan terjadi hal yang seperti itu. Beberapa detik kemudian, geng murid SMA Harapan tidak terima sehingga mereka membalasnya dengan pukulan bertubi-tubi. Anggota geng motor dari SMA Pelita berkelahi dengan membawa gesper dan beberapa balok kayu. Tidak hanya itu, helm juga digunakan sebagai alat pemukul lawan.

Perkelahian ini tidak seimbang. Lima lawan enam belas. Lima murid dari SMA Harapan dan enam belas lainnya dari SMA tetangga. Luna melihat seseorang dari SMA Harapan sedang dipukuli menggunakan gesper. Benar-benar di luar batas kemanusiaan. Mereka brutal dan aksinya menggila. Darah segar sudah mengalir dari lubang hidungnya. Luna takut, mereka terlalu mengerikan.

Luna yang semula hanya duduk-duduk saja mulai berdiri dengan kaki yang gemetar. Ia menggeleng tidak percaya. Aksi tawuran itu berada tepat di depan matanya. Tidak jauh. Dekat sekali. Luna ingin berlari, tapi kakinya yang gemetar tak sanggup ia ajak untuk melangkah barang sedikitpun. Matanya masih menatap adegan tawuran di depannya secara gamblang. Tidak seperti yang biasa ia lihat dari televisi. Badannya bergetar dan kakinya masih terus gemetar. Luna takut setengah mati.

Salah satu orang dari SMA Pelita melihat Luna yang sedang ketakutan di pinggir jalan. Cowok itu menyeringai jahat kemudian berjalan menghampiri Luna. Gadis itu semakin ketakutan. Ia tidak tahu cowok yang mendekat itu akan melakukan apa padanya. Luna hanya diam, ia tidak bisa berpikir. Tiba-tiba saja cowok itu memegang tangan Luna kemudian menariknya dengan paksa. Refleks, Luna meronta.

“TOLOOONG! SIAPAPUN TOLOOONG!” teriaknya meminta bantuan pada siapapun. Ia histeris, karena seumur-umur belum pernah menyaksikan adegan tawuran secara langsung. Bahkan ia tidak menyangka dirinya akan ikut-ikutan diseret ke dalamnya seperti ini.

Lalu, tiba-tiba saja dari arah belakang ada seseorang yang memukul cowok yang menarik tangan Luna. Pukulan itu berhasil membuatnya terkapar. Luna berhasil terlepas dari genggamannya.

“Tenang. Lo aman sama gue,” bisik seseorang yang menyelamatkan Luna.

Luna melihat sekilas wajah cowok itu. Wajahnya sudah babak belur dan bercak darah di mana-mana.

Beberapa orang mulai bermunculan untuk melerai aksi tawuran itu. Jalanan yang tadinya sepi kini sudah dipenuhi oleh orang-orang yang bergerombol saling melerai. Mereka semua tampak kewalahan memisahkan kedua kubu yang aksinya menggila itu.

Luna membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tidak pecah. Air matanya sudah mengalir deras di pipi. Matanya masih menatap cowok yang menolongnya tadi. Luna takut. Cowok itu menatap Luna yang sedang sesenggukan menahan tangis. Perlahan penglihatan Luna kabur. Tubuhnya melemas dan semua yang ia lihat menjadi gelap, kemudian ia jatuh; di tangan seseorang.

***

Alfa CentauriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang