[3] Terima Kasih dan Selamat Malam

48 7 0
                                    

Hari ini Luna pulang tanpa ada hambatan. Karena kejadian kemarin, Shena––bunda Luna––tidak membiarkan anaknya untuk pulang sendirian lagi. Luna cukup trauma dengan adegan jotos-menjotos seperti kemarin. Siapa juga yang tidak merasa ngeri dan ketakutan jika adegan tawuran itu terjadi di depan mata. Luna sudah kapok. Mengingat beberapa orang saling pukul-memukul hingga darah mereka mengalir dari lubang hidung. Membayangkannya saja sudah membuat Luna bergidik ngeri.

“Hari ini nggak pingsan-pingsan lagi, kan?” tanya Shena saat mereka berdua sampai di rumah.

Luna menggeleng. “Ih, Bunda! Jangan inget-inget kemarin, Luna malu.” Cewek itu berjalan menuju kulkas untuk mengambil air dingin.

“Kamu sih, ngapain pake pingsan segala.” Shena terbahak.

“Bunda nggak tau kejadiannya gimana, makanya ngomong gitu. Kemarin itu mereka sampai berdarah-darah gitu, apalagi ada yang pake gesper! Bayangin, Bun! Gesper dibuat berantem! Serius deh, Luna bener-bener takut ngeliatnya.” Ia meneguk air dinginnya.

Shena masih terkekeh mendengar cerita anaknya. “Ngomong-ngomong, cowok yang nganter kamu kemarin siapa? Pacar kamu ya?”

Refleks Luna tersedak mendengar pertanyaan bundanya. “Uhuk, uhuk!” Luna menekan-nekan dadanya. “Pacar dari Hongkong! Siapa juga yang mau pacaran sama cowok doyan berantem kaya gitu. Ngeri.” Luna bergidik.

“Jangan ngomong gitu, ntar kalo sampai pacaran beneran gimana?”

“Ih, Bundaaa….”

“Tapi lumayan ganteng kok anaknya, cocok kalo sama anak Bunda. Ehehe,” goda sang bunda.

“Bundaaa…” teriak Luna.

Shena tertawa terbahak-bahak karena berhasil menggoda anak perempuannya.

***

Lagu Iwan Fals mengalun pelan dan memenuhi ruangan. Lagu dengan judul Ku Menanti Seorang Kekasih itu membuat orang-orang di dalam ruangan itu ikut bernyanyi. Alfa merebahkan tubuhnya di sofa panjang di sebuah rumah yang sudah menjadi markasnya sejak bergabung dengan para pentolan sekolah. Markas ini sebelumnya adalah rumah milik Fandi, namun karena dulu teman-temannya banyak yang suka bermain dan menginap di sini, maka ia merelakan rumah yang diberikan oleh kedua orang tuanya digunakan sebagai sarang para penyamun. Rumah yang begitu luas dengan lantai dua plus kolam renang di dalamnya seakan menjadi surga pribadi yang ia huni bersama teman-temannya.

“Mending lo pulang deh, istirahat di rumah,” ucap Panca pada Alfa. Seperti biasa, mereka hari ini tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke markas dulu untuk sekedar bermain PS atau bahkan tidur.

“Sejak kapan lo perhatian ke gue, Bang Panca sayang?” ucap Alfa sambil senyum-senyum.

Raut wajah Panca langsung ingin muntah karena dipanggil ‘sayang’ oleh Alfa. “Maksud gue nggak gitu, tuh wajah udah hancur ditambah lagi dari tadi lo ngaduh-ngaduh kalo perut lo sakit, mending pulang sono deh, biar dirawat sama Bi Surti,” jelas Panca panjang lebar. Bi Surti adalah pembantu rumah tangga di rumah Alfa, yang sering kali dijahili oleh Alfa dan teman-temannya.

“Jangan kau tak menepati janji… datanglah dengan kasihmu… andai kau tak datang kali ini… punah harapanku….” Suara Irsyad yang merdu––alias merusak dunia––benar-benar tidak enak didengar. Antara fals dan tidak bisa mengambil nada menjadi perpaduan yang pas untuk mendeskripsikan bagaimana keadaan suaranya saat ini.

“Diem lo kunyuk!” Panca melempar kulit kacang pada Irsyad dan membuat ia mengaduh kesakitan.

Fandi muncul dari arah dapur sambil membawa satu mangkok mie kuah. “Bener tuh, Al, di rumah lo kan ada Bi Surti yang dengan senang hati bisa ngerawat lo, daripada di sini lo nggak bakal dapet pengobatan.” Fandi meletakkan mangkok mie kuah itu di meja.

Alfa CentauriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang