[5] Takut?

40 8 2
                                    


“Makasih, Bang!” Cewek dengan rambut dikuncir berantakan itu baru saja turun dari angkot. Ia harus berjalan untuk sampai di rumah, karena jarak antara halte dan rumahnya masih sekitar lima meter lagi. Ia berjalan kelelahan dengan ransel di punggung dan tas jinjing isi kaus olahraga di tangan. Hari ini ia terlalu banyak menguras tenaga. Bahkan keringat di wajahnya juga tak kunjung reda.

“Assalamualaikum.” Luna membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Seperti biasa, suasana rumah sepi. Setiap hari, ayah Luna pulang sehabis maghrib. Dan di jam-jam seperti ini bundanya pasti sedang duduk diam di depan televisi sambil nonton serial India kesukaannya, apalagi kalau bukan Uttaran. Luna berjalan gontai menaruh sepatu beserta kaus kakinya di rak.

“Waalaikumsalam.” Suara bunda menyahut dari dalam. Tak lama kemudian bunda muncul dari ruang tengah. “Tumben udah pulang?” Luna menyalimi tangan bundanya.

“Iya Bun, sopir angkotnya hari ini beda, nggak kayak yang biasanya. Dia nggak mampir-mampir buat ngetem, lagian penumpangnya juga full.” Ia berjalan menuju ruang tengah diikuti bunda di belakangnya. “Bun! Itu neneknya Icha ngapain pake nangis-nangis segala? Ada yang mati ya?!” Suara Luna tampak dibuat-buat terkejut.

“Hush, kamu ini sembarangan bilang ada yang mati. Udah deh, sana-sana, kamu juga nggak bakal tertarik.”

Luna terkekeh dan kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Ia meletakkan tas jinjing dan ranselnya di atas meja belajar. Cewek itu membanting tubuhnya ke atas ranjang. Matanya menerawang ke langit-langit kamar dan ingatannya kembali memutar ulang kejadian di lapangan tadi siang. Refleks, Luna menutupi mukanya karena malu. Bagaimana mungkin seorang Alfa Centauri bisa berkata seperti itu padanya. Bahkan ia dijadikan tontonan gratis yang mengundang tepuk tangan meriah dari teman-temannya.

Ia beranjak duduk dan memandangi botol air dari Alfa yang isinya sudah tandas. Mengingat kejadian tadi siang membuat Luna merasa ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya. Seperti tersengat listrik tapi tak sakit. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang memenuhi perut. Seperti ada gelombang aneh di jantung. Sungguh perasaan yang sulit diartikan. Cewek itu kembali melempar tubuhnya ke ranjang, lelah.

Lagu Heartbeat milik Christopher mengalun tiba-tiba dari ponsel Luna. Dengan ogah-ogahan ia bangun dan merogoh ranselnya untuk mengambil benda kotak itu. Lagu yang Luna pakai sebagai nada dering panggilan itu masih terus mengalun. Hingga akhirnya ponsel itu sudah ada di tangan dan betapa kagetnya ia saat melihat nama siapa yang ada di layar.

Alfa.

Alfa Centauri menelpon Luna.

Sebenarnya banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak Luna. Ngapain dia ngasih minum ke gue? Ngapain dia ngomong kaya gitu tadi siang? Dan saat ini pertanyaannya nambah satu lagi; Ngapain dia nelpon gue?

Luna menyingkirkan semua pertanyaan itu. Kini ia sedang dilema. Angkat. Enggak. Angkat. Enggak. Cewek itu memutuskan menggeser layar ponselnya ke warna hijau. Mengangkat.

“Halo?”

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara berisik dari balik telepon. Suara banyak orang diiringi siul-siulan, yang entah Luna tidak tahu siapa mereka yang ada di sana.

[Halo, Lun. Hape gue abis dimainin sama temen-temen gue. Sorry, mereka emang jail.] Suara berat milik Alfa akhirnya terdengar.

Luna tidak menjawab. Menahan napas. Cewek itu masih menempelkan ponselnya di telinga. Mendadak Luna mematung seperti manekin.

[Lun?]

“Eh, iya.”

[Lo udah nyampe rumah kan?]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alfa CentauriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang