1. Thierry Mugler

66 5 1
                                    


Ada tiga alasan mengapa Chastity Blanchefort memutuskan untuk terbang menggunakan pesawat komersil alih-alih memesan pesawat pribadi untuk penerbangannya ke Britania Raya hari itu. 

Alasan pertama adalah di tengah libur musim dingin di awal tahun seperti ini, pihak maskapai telah menambah beberapa armada Airbus mereka sehingga waktu penerbangan menjadi lebih fleksibel – dan Chastity mencintai fleksibilitas.

Ia bisa mengepak koper vintage Louis Vuitton monokrom kesayangannya dengan santai (yang berarti tidak ada pakaian yang kusut dan ia bisa memastikan ia membawa jumlah yang cukup, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit), membeli tiket Business class begitu ia tiba di bandara, dan ketika ia tiba di lounge, secangkir teh kesukaannya sudah akan menantinya.

Alasan kedua adalah fakta bahwa Dante de Lusignan, tunangannya yang 'tersayang' – ya, tanda kutip itu perlu – tidak akan menyangka bahwa Duchess de Blanchefort akan merendahkan dirinya dengan terbang bersama rakyat jelata menaiki pesawat komersil, sehingga kemungkinan pria itu untuk dapat mencegahnya sangat kecil. 

Saat Dante menunggunya tiba di lapangan terbang khusus untuk pesawat pribadi tidak jauh dari airport ini, Chastity sudah lama meninggalkan Italia.

Dan yang ketiga – dan yang tidak ingin diakui oleh Chastity – adalah perbedaan harga yang sangat signifikan antara kedua opsi yang ia miliki. Memesan pesawat pribadi berukuran kecil untuk menempuh penerbangan dua jam empat puluh lima menit membutuhkan sekitar tiga belas ribu Euro, sementara tiket penerbangan komersil dari Leonardo da Vinci–Fiumicino Airport ke Heathrow International hampir sepersepuluh dari jumlah itu. 

Ia tidak ingin mengakui ini, tapi dalam hati kecilnya Chastity tahu bahwa Brendan akan bangga mendengar bahwa ia sudah menghemat hampir sembilan ribu Euro hari ini.

Sambil berjalan memasuki gangway yang menghubungkan bandara dengan pesawat yang akan membawanya ke London itu, Chastity menyelipkan kembali passport dan boarding pass nya ke dalam tas tangan yang menggantung manis di lengannya. 

Ia membetulkan letak kacamata hitamnya yang agak merosot ke ujung hidungnya sambil melemparkan pandangan ke arah para penumpang lainnya yang masih antri untuk melewati pemeriksaan boarding pass. Mereka sepertinya penumpang kelas Economy dan Economy Plus yang harus menunggu hingga kelas Chastity selesai masuk dan duduk dengan nyaman di dalam pesawat. 

Chas tersenyum simpul sambil menarik kopernya ke dalam kabin; ia memang menggunakan penerbangan komersil, tapi ia tidak ingin merendahkan dirinya dan terbang dengan kelas ekonomi seperti orang-orang itu, ugh apa yang akan dikatakan Dante bila melihatnya duduk terjepit di kursi tengah?

Ia berjalan memasuki kabin pesawat dan seorang pramugara bermata biru langit datang menghampirinya untuk membantu menyimpan kopernya. Chas tersenyum dan mengangguk, sebelum ia berjalan menuju kursinya dan meletakan tas tangannya di kursi kosong di sebelah miliknya. 

Baiklah, ia memesan dua kursi alih-alih satu, supaya ia bisa menikmati penerbangan tanpa harus berbagi ruang dengan penumpang lain, jadi kenapa? Chas memutuskan untuk tidak menceritakan soal yang satu ini kepada Bren, biarlah hal ini menjadi rahasia kecilnya – setiap wanita pasti memiliki satu, dua rahasia yang ia simpan dari kekasihnya; memangnya siapa dia, Lady Alroy dalam cerita pendek Oscar Wilde?

Chastity baru saja mengambil sebuah folder dari tas tangannya, yang ia pinjam tanpa izin dari meja kerja tunangannya sebelum ia berangkat ke bandara, ketika dari sudut matanya ia menangkap sebuah tangan yang asing menyentuh tas tangannya. 

Ia mengangkat kepalanya dari folder itu, dan berhadapan dengan sepasang bola mata berwarna coklat keemasan, seperti kilauan cantik dari sebotol madu yang pernah Bren berikan padanya beberapa bulan yang lalu. 

Pemilik sepasang mata tersebut adalah seorang pria berambut ikal kecoklatan, beberapa tingkat lebih gelap dari matanya yang seperti lelehan emas, dan seulas senyum menghiasi bibirnya yang penuh dan menggoda.

Sial.

Pria sialan ini tahu dirinya sangat tampan.

Ia tahu bahwa Chastity terpaku akan keindahan yang dipancarkan oleh senyumnya.

...dan aroma tubuhnya, Thierry Mugler – A*Men Pure Malt

Oh Tuhan.

Aroma Whisky yang elegan, berpadu dengan pheromon yang seolah menetes dari pori-porinya, membuat Chastity nyaris tidak dapat bernapas.

"Boleh aku menemanimu?"

"Apa?" Chas bergumam, otaknya yang tiba-tiba penuh dengan imaji tidak senonoh tentang pria yang baru kali ini dilihatnya itu membuat suaranya seperti tercekat. Si tampan terkekeh, suara baritone-nya bergema di dalam kepala Chastity ketika ia berbicara kembali, mengulang pertanyaannya.

"Boleh aku menemani perjalananmu?" tanyanya, "aku seharusnya duduk di kelas ekonomi, tapi tetanggaku butuh ruang lebih dan menurut pramugari di belakang sana, kursi di sebelahmu kosong, Miss...?"

"Lady," Chas dengan cepat mengoreksi, secara refleks ia mengulurkan tangannya dengan bagian punggung tangan diatas, seperti biasa ketika ia memperkenalkan diri kepada para duta besar dan tamu-tamu bangsawan ayahnya, "Lady Chastity Blanchefort" tambahnya.

Ia menatap pria bermata keemasan itu, menunggu responnya dengan sedikit khawatir. Bila ia mengalaminya, maka dengan sedikit menyesal Chas harus menolak permintaannya. Ia tidak mau duduk dengan seorang yang tidak tahu sopan san –

"Maafkan aku, my lady. Dimana sopan santunku... Namaku Ash Meadows" kata si tampan sambil membungkukan badannya dan membawa tangan Chas yang terulur ke bibirnya.

Sebuah kecupan ringan mendarat di cincin berlian yang ia kenakan, dan Chas menyadari bahwa tangannya yang bebas sedang memindahkan tas tangannya ke celah di antara kedua kursi supaya Ash dapat duduk.

Baiklah, batin Chas sambil melipat kacamata hitamnya, lalu menyelipkan benda itu ke dalam tasnya, Brendan benar-benar tidak perlu tahu soal ini.

KoHA: ChastityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang