3. PDA

23 2 0
                                    


"Apa kita bisa bertemu lagi?"

Chas menatap Ash ketika mereka berdua berdiri di depan ban berjalan, menunggu koper mereka muncul bersama para penumpang lainnya. Jemari mereka masih bertautan sejak mereka berjalan keluar dari pesawat, hanya terpisah sesaat ketika mereka melewati gerbang imigrasi elektronik dan mereka harus memindai passport mereka. 

Ash kembali menyambut tangannya dan meremas jemarinya dengan lembut, dan mau tidak mau Chastity kembali teringat dengan hal-hal yang dapat dilakukan setiap jari pria itu.

Darahnya berdesir ketika ia mengingat bagaimana Ash meliriknya melewati bulu mata yang panjang dan lentik itu, matanya yang berwarna madu bersinar jahil ketika Chas berusaha keras untuk tidak menjepit kepalanya terlalu kencang. 

Hmm, ia baru menyadari bahwa rambut cokelat Ash masih berantakan, tapi ketika mereka berdiri bersebelahan seperti ini, perbedaan tinggi mereka yang nyaris dua puluh senti membuat Chastity mengurungkan niatnya untuk membantu merapikannya.

"Bila kau beruntung," jawab Chas sambil mengedipkan matanya. Setampan apapun Ash dan semahir apapun ia menggunakan jemarinya, ia tahu bahwa tidak sebaiknya pria itu terlibat lebih jauh dengannya. Ada alasan kenapa kencan satu malam disebut demikian – bukan kencan satu malam dan malam-malam berikutnya.

Lagipula Chas tidak menginginkan hubungan serius, ia tidak punya waktu dan dedikasi untuk itu. Yang ia butuhkan hanya pelarian sesaat, dan Ash telah memberikan hal itu sepanjang perjalanan dari Roma menuju London.

Waktu untuk bermain sudah selesai.

Kini saatnya kembali ke kenyataan.

Tapi Ash masih menggenggam tangannya, dan dalam hati Chastity mulai merasa sedikit sebal – setampan apapun seseorang, pria yang tidak tahu kapan harus berhenti menyalakan tanda bahaya di dalam kepalanya.

"Aku sudah bertunangan," kata Chas sambil menarik tangannya dengan sedikit lebih kuat, tapi Ash mengencangkan pegangannya, dan kedua jari Chas yang menjepit cincinnya mulai terasa nyeri.

"Jelas hal itu tidak membuatmu berpikir dua kali sebelum membiarkan aku menciummu di pesawat tadi," sambut Ash tenang, "atau membuatmu berhenti mendesahkan namaku ketika..."

"Cukup, Ash" potong Chastity jengkel, "kau bertanya apa kita bisa bertemu lagi, dan aku sudah memberikan jawabanku. Bila kau beruntung, jalan kita akan berpapasan lagi... Sekarang lepaskan tanganku."

Ia mengebaskan dan menarik lepas tangannya, sementara tangannya yang lain mempererat cengkeramannya di pegangan kopernya. Tapi Ash tidak mau membiarkannya pergi semudah itu. Dengan mudah ia menangkap pergelangan tangannya dan memiting tangan itu di punggung bawah Chas, membuatnya meringis menahan sakit dari tangannya yang terpelintir.

Orang ini bukan manusia biasa, batin Chas kesal.

"Jangan buat aku berteriak," ancamnya dalam desisan rendah; posisi mereka saat itu, dengan lengan Ash seolah memeluknya, memberi kesan bahwa mereka hanya sepasang kekasih yang sedang berpelukan. Di depan ban berjalan yang mengantarkan koper dari pesawat ke penumpang, ya, tapi tidak ada yang aneh dengan posisi mereka.

Beberapa penumpang yang melewati mereka tersenyum penuh makna, seperti senyum yang biasa diberikan oleh sepasang nenek-nenek ketika melihat dua ekor anak kucing yang sedang bermain dengan manisnya.

Chas tidak bisa menyalahkan mereka, mengingat Ash dan dirinya berpegangan tangan ketika berjalan keluar pesawat tadi. Mungkin para penumpang lain menganggap mereka hanya pasangan yang terlalu mengumbar PDA – Public display of affection. Jelas mereka bukan satu-satunya yang begitu, cukup banyak pasangan yang bersikap manja di airport... 

Yah, perpisahan dan pertemuan kembali memang membuat semua orang jadi sentimental. Chas bisa mengerti itu.

Tapi saat ini ketidak-pedulian orang-orang di sekitarnya itu hanya membuatnya kesal. Hanya karena ia dipeluk oleh seorang pria yang luar biasa tampan, bukan berarti ia menikmatinya, kan? Apalagi ketika Ash mulai membungkuk dan semakin lama semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Chas...

"Bila kau berani menciumku..."

"...Kau akan sangat, amat menyesal" lanjut seseorang dari belakang mereka.

Pernahkah kau berdiri di sebuah ruangan yang penuh sesak, dengan semua jendela tertutup, dan siapapun yang mendesain ruangan itu seolah lupa bahwa penyejuk udara sudah diciptakan sejak 1902? Pernahkah kau melangkah keluar dari ruangan itu dan semilir angin sore hari yang sejuk menerpa wajahmu, dan saat itu kau tahu bahwa kau akan baik-baik saja?

Karena itulah yang Chastity rasakan ketika ia mendengar suara dari belakangnya itu. Ia bahkan sebenarnya tidak perlu menoleh, tapi toh begitu Ash melepaskan lengannya yang dipelintir itu, Chas langsung mendorongnya menjauh dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan defensif. 

Sebuah tangan melingkari pinggangnya dan Chas otomatis bergerak mendekat ke tubuh pemilik tangan itu. Ash mengangkat alisnya.

"Ini tunanganmu?"

"Itu bukan urusanmu."

Ash menatap mereka sejenak, lalu berbalik dan menarik kopernya menjauh dari mereka. Chas menghela nafas sambil menatap punggung Ash yang menjauh. Tsk, sayang sekali menyia-nyiakan pria berkualitas seperti itu, pikirnya sebelum ia menoleh dan tersenyum kepada penyelamatnya.

"Kenapa kau ada disini, Bren?"

"Aku yang seharusnya bertanya begitu," Brendan menghela nafas, antara jengkel dan rindu, Chastity tidak yakin, "seharusnya 'kan, kau berada di Roma bersama Dante..."

"Kau sendiri seharusnya berada di-"

Sebelum ia sempat menyelesaikan perkataannya, Brendan sudah melingkarkan kedua lengannya di sekeliling Chastity dan merengkuhnya dalam pelukan yang hangat. Wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Chas yang langsung bersemu kemerahan ketika ia merasakan bibir Brendan menyapu bibirnya. 

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, bibir Chastity sudah bergerak membalas ciuman itu dengan melumat bibir Bren, kedua tangannya memeluk leher pria itu untuk memperdalam ciuman mereka, jemarinya memainkan rambut pirang kekasihnya.

Brendan Reinhardt selalu tahu bagaimana cara menghindari pertanyaan Chastity dengan efektif.

KoHA: ChastityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang