🍀 Tak sekuat yang terlihat

1K 100 4
                                    

"Aldi, ayo dong," bujuk Yua sembari menusuk-nusuk pipi Aldi dengan telunjuknya.

Sekali lagi Aldi menggeleng. Pemuda itu memilih menyibukkan diri dengan berbagai catatan di depannya, membiarkan si gadis cerewet terus merengek. Padahal Aldi sudah menolak ajakannya berkali-kali, tetapi tetap saja dia memaksa.

Yua memajukan bibirnya kesal. Sejak awal mereka bekerja, Aldi sama sekali tak pernah mau diajak makan bersama. Alasannya selalu sama; malas atau tidak lapar. Bagi Yua tentu saja itu tidak masuk akal. Mana ada orang yang bekerja selama 12 jam, tapi tidak merasa lapar sama sekali? Ia saja bisa makan berkali-kali, atau paling tidak menyantap makanan ringan kalau apotek tengah sepi.

Merasa bosan karena permintaannya terus ditolak, gadis itu berjalan menjauh dari Aldi. Menghampiri salah satu sudut rak berbahan dasar kaca yang berisi deretan susu, juga makanan bayi, lalu mengambil salah satunya. "Gue beli ini, ya. Ini uangnya," kata Yua kemudian sambil mengacungkan barang yang baru saja diambilnya.

Kelopak mata Aldi melebar, detik berikutnya ia menggeleng melihat apa yang dibeli rekan kerjanya; Milna biskuit bayi 6+ rasa jeruk.

"Makan yang benar kenapa? Heran gue, umur aja banyak, kelakuan kayak bocah," omel Aldi.

Yua menjulurkan lidah, tak memedulikan omelan Aldi. Kalau Aldi saja kuat tak makan seharian, masa Yua kalah. Gengsi. Kalaupun nanti ia sakit, biar Aldi merasa bersalah agar lain kali mau menemaninya makan. Lagi pula makan biskuit bayi itu lumayan bisa mengganjal perutnya yang sudah demo besar-besaran sejak tadi.

🍀🍀🍀

"Astagfirullah, A. Eta kunaon lecet-lecet?"

Tanpa menghiraukan kepanikan ibunya, lelaki itu melepas jaket kulit yang dikenakannya, lalu masuk ke dalam rumah. Motor bebek yang baru saja diparkir di halaman pun tampak sedikit mengenaskan; handle remnya patah juga tergores di beberap bagian. Padahal motor itu milik tetangganya yang memang disewa setiap kali ia hendak main.

Nurul buru-buru menghampiri putranya. Cara berjalan Alan yang sedikit pincang membuatnya cemas jika anak itu terluka parah. "Aa ini kenapa? Coba dijawab atuh kalau ditanya teh."

Alan berdecak kesal. "Ya Ibu pikir aja sendiri, kalau motor rusak badan lecet-lecet itu kenapa," katanya keki.

Si bungsu yang sejak tadi sibuk membaca buku akhirnya bersuara. "Aa teh jangan marah-marah terus sama Ibu. Harusnya bilang makasih karena Ibu udah perhatian sama Aa, padahal Aa galak!"

Nurul menoleh pada putra kecilnya. "Adek, enggak boleh gitu, Sayang. Enggak sopan sama yang lebih dewasa."

"Aa aja enggak pernah sopan sama Ibu, tapi dia gak malu atau merasa bersalah. Jadi, buat apa Azka harus sopan sama Aa?"

"Hasil didikan si Aldi tuh. Sok tua, padahal masih piyik."

"Jangan seret-seret A Aldi. Dia lebih baik segalanya dari Aa. A Aldi punya rasa tanggung jawab, sementara Aa enggak."

"Diam lo anjing!"

"Alan!"

Nurul tak bisa lagi menahan diri karena Alan sudah sangat keterlaluan. Di antara ketiga putranya, memang Alan yang memiliki sifat paling kekanakan, walaupun dia yang paling tua. Setiap hari kerjanya hanya keluyuran, minta uang, nongkorong, sampai tak jarang anak itu pulang dalam keadaan mabuk. Sejujurnya Nurul malu oleh tetangga yang mungkin menyaksikan kenakalan si sulung, tetapi bagaimana lagi? Pergaulannya di luar sana membuat dia sulit dikendalikan.

"Adeknya masih kecil lho, A. Ucapannya dijaga. Kalau sampai diikutin teh mau gimana?"

"Gak peduli."

Perempuan itu menghela napas. Tangan kanannya terangkat mengusap liquid bening yang meluncur dengan lancangnya. "Kamu ganti baju sana. Nanti lukanya Ibu obatin."

🍀🍀🍀

Aldi duduk bersila di atas tikar berukuran sedang. Semangkuk mie instan juga secangkir kopi turut menemaninya malam ini. Pandangannya terkunci pada pada layar kosong di hadapannya. Sewaktu bekerja tadi inspirasi begitu menumpuk, tetapi saat hendak dituangkan ke dalam tulisan, malah lenyap begitu saja.

Sesekali Aldi mengucek matanya yang terasa perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Namun belum sempat satu kata pun ia tuangkan, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ibu.

Tangannya bergerak cepat mengambilnya, lalu menerima sambungan telepon dari sang ibu.

"Hallo, assalamu'alaikum."

"Hallo, wa'alaikumsalam. Aa sehat? Ibu sono pisan."

"Alhamdulillah, Bu. Ibu sama yang di rumah sehat juga, 'kan?"

Hembusan napas panjang jelas terdengar oleh Aldi dari seberang telepon sana. Pasti ada masalah.

"Aa kamu sakit habis kecelakaan, lecet semua badannya. Mana motor Mang Ujang teh rusak sama si Aa. Mang Ujangnya tadi marah minta kita tanggung jawab."

Selalu seperti ini. Kadang Aldi kesal karena kakaknya terus saja berulah. Di sini Aldi setengah mati mencari uang untuk keluarganya, sementara di sana sang kakak yang seharusnya punya peranan lebih besar untuk membantu perekonomian keluarga malah bertingkah semaunya. "Ibu ada uang gak buat Aa ke dokter? Motor Mang Ujang bawa ke bengkel aja, nanti setelah selesai bilang sama Aldi biayanya berapa, biar Aldi transfer."

"Maafin Ibu, ya, A nyusahin kamu terus. Ibu bingung harus bilang sama siapa. Ayah juga lagi enggak pegang uang pisan."

"Iya gak pa-pa, Bu. Itu memang tugas Aldi."

"Kamu jaga kesehatan, ya, di sana. Jangan makan mie sama ngopi terus. Gak baik buat kesehatan. Ibu jauh kalau ada apa-apa."

"Aldi selalu makan nasi kok, Bu. Apalagi kalau Juna sama Aries mampir ke kosan, bisa makan enak. Ibu jangan cemas. Fokus aja sama yang di rumah. Aldi enggak usah jadi beban Ibu juga," kata Aldi susah payah. Dalam hati, Aldi meminta maaf karena sudah berani membohongi ibunya.

"Ya sudah, Ibu tutup dulu. Assalamu'alaikum."

Setelah menjawab salam ibunya, Aldi langsung merebahkan tubuhnya, membiarkan dingin lantai keramik di balik tikar tipis itu memeluknya erat. Mie instan rasa soto lamongan yang merupakan makan siang sekaligus makan malamnya dibiarkan begitu saja hingga perlahan mengembang. Otaknya terasa penuh. Uang tabungan yang setiap bulan ia sisihkan untuk biaya masuk kuliah nanti, kembali harus terpakai. Padahal semuanya telah terencana. Jika satu bulannya Aldi mampu menyimpan lima ratus ribu, maka dalam satu tahun tabungannya bisa menginjak enam juta.

Tubuh lelaki itu tersentak. Dengan gerakan cepat Aldi bangkit dari tidurnya tatkala rasa tak nyaman di bagian perut membuyarkan lamunannya. "Hu--" Aldi menutup mulut, lalu berjalan tergesa ke arah kamar mandi. Tumpahlah isi lambungnya. Padahal mie instan yang dimakannya tadi belum begitu banyak, tetapi yang keluar justru dua kali lipat.

Setelah selesai, Aldi membasuh wajahnya, lantas kembali ke kamar. Payah sekali tubuhnya sekarang, seakan tak bisa dibubuhi pikiran terlalu berat.

Merasa tak akan baik menulis dalam kondisi seperti ini, Aldi memilih tidur. Sayang, sesaat setelah matanya terpejam, nada dering ponselnya memaksa pemuda itu terjaga. Satu pesan masuk dari Juna.

Juna
Al, nanti gue sama Aries ke sana. Kita makan besar. Si drummer abis dapat bonus. Lo jangan tidur dulu, nanti gue bakar kosan lo.

Me
Iya gue tunggu.

Juna
Lumayan dong makan bareng kalian sebelum gue balik ke asrama.

--tbc--

Never Lose HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang