"Lho kok?"
Aldi yang baru saja keluar hendak mengunci pintu kosannya langsung menoleh begitu menyadari kebingungan gadis yang saat ini berdiri di belakangnya. "Apa?" tanyanya kemudian.
"Lo mau ke mana?"
"Ke ATM sebentar."
"Mau ngapain? Ampun deh, Al, lo belum pulih gitu udah mau pergi. Istirahat dulu. Kalau lo perlu uang, pakai punya gue dulu aja. Gampang kapan-kapan lo ganti."
Aldi menghela napas berat. Jujur Aldi juga ingin tetap beristirahat, tetapi baru saja sang mama menghubunginya dan menyebutkan total biaya yang diperlukan untuk perbaikan motor. "Sebentar kok, cuma transfer aja."
"Berapa? Mana nomor rekeningnya, biar gue yang pergi."
Lelaki itu menggeleng. Rasanya hari ini ia sudah cukup merepotkan Yua.
"Kalau gitu gue ikut." Yua tentu saja tidak akan membiarkan Aldi pergi sendiri dalam kondisi seperti itu. Berjalan saja masih terlihat sempoyongan dan sedikit tertatih. Tangan kanannya bahkan tak lepas memegangi area perut.
"Ya udah," sahut Aldi, "tapi naik angkot. Gak pa-pa?"
Yua lekas mengangguk.
🍀🍀🍀
Azka memandangi sang kakak yang masih tidur hingga sekarang. Terkadang bingung kenapa kakak sulungnya begitu kekanakan dan tak memikirkan keluarga. Jangankan membantu dalam segi materi, membantu pekerjaan ibunya yang ringan-ringan saja selalu menolak. Kalaupun mau, pasti ada perdebatan panjang sebelumnya.
"A, bangun. Ini udah siang."
Alan masih tak bergerak.
Dengan perasaan sedikit kesal, Azka menarik ujung kaos kakaknya dengan setengah berteriak, "Aa, bangun!"
Alan yang tak kalah kesal langsung melampiaskan kekesalannya dengan melempar bantal pada Azka. "Berisik!"
"Bangun sih, A. Aa teh gak kasihan sama Ibu? Ibu udah ngerjain ini itu dari pagi buta, Aa masih tidur aja. Berakar nanti."
"Kalau mau bantuin Ibu, ya sana aja! Gak usah ngerecokin orang tidur."
Jika saja tak terdengar dering ponsel, Azka pasti akan melanjutkan perdebatannya. Anak itu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Alan, lantas menyambar benda pipih warna hitam yang tergeletak di atas meja. Rautnya berubah cerah melihat nama kakak keduanya terpampang di layar. "Hallo, assalamu'alaikum Aa."
"Wa'alaikumsalam. Ibu ke mana, Dek? Aa telepon kok enggak diangkat?"
"Ibu lagi di belakang, A, ngasih makan ayam."
"Bilang Ibu ...,"
Azka mengernyit mendengar suara kakaknya putus-putus, meskipun samar, deru napas lelaki itu bahkan bisa didengarnya. "Aa kenapa?"
"Bilang sama Ibu uang buat betulin motor udah Aa transfer sekalian sama bekal kalian dan buat Ayah kontrol bulan ini. Suruh Ibu aja yang antar ke rumah Bapak, jangan Aa."
Bocah laki-laki itu mengangguk, meskipun orang di seberang telepon sana jelas tak akan bisa melihatnya. "Aa gak pa-pa, 'kan? Kok kayak lagi nahan sakit gitu dari tadi? Aa di mana?"
"Aa di klinik, tapi Adek jangan bilang sama Ibu, ya. Nanti Ibu cemas dan banyak pikiran. Cuma masalah lambung aja kok gak parah."
"Aa jaga kesehatan. Adek bakal giat belajar biar SMA nanti bisa dapat beasiswa. Jadi, Aa enggak usah repot-repot kerja. Maafin Adek, ya, A, belum bisa bantu Aa."
"Dek? Kok serak gitu suaranya? Kamu nangis? Dih, nanti Aa bilangin sama teman-teman sekolah kamu, ya, kalau kamu masih suka nangis."
"Adek kangen sama Aa. Gak enak nyusahin Aa terus, harus beli ini, itu sama biaya sekolah yang lainnya. Aa teh kapan pulang? Adek mau ketemu."
"Dengerin Aa, Dek. Dulu, Ibu sama Bapak sekolahin Aa sampai Aa lulus. Sekarang gantian, Aa harus bisa sekolahin kamu, lanjutin tugas Ibu. Aa gak keberatan kok. Kamu doain aja Aa sehat terus. Bulan depan insya Allah Aa sempetin pulang."
Azka tak bersuara, sibuk menyeka air mata yang entah sejak kapan membasahi kedua pipinya. Ia mengerti betul beban yang dipikul kakaknya pasti berat. Menghidupi tiga kepala sekaligus, belum lagi ayahnya sakit dan membutuhkan pengobatan berkala. "Adek sayang Aa."
" ... Aa juga."
🍀🍀🍀
Aldi memasukan kembali ponsel yang semula digenggamnya ke dalam saku celana. Napasnya terasa sesak. Si bungsu memang sensitif dan gampang menangis. Namun, sejauh ini anak itu juga yang paling mengerti dirinya.
Sibuk dalam lamunan, Aldi sampai tak menyadari kalau sedari tadi gadis di sebelahnya tengah mati-matian menahan tangis. Wajahnya yang putih bahkan sudah berubah merah. Cara Aldi berinteraksi dengan adiknya membuat Yua terharu. Namun gagal, air matanya luruh juga.
"Eh, lo kok nangis?"
"Kok lo sama adek lo sweet banget sih. Gue kan jadi baper. Pengin cepat dipinang rasanya."
Di tengah-tengah rasa sakitnya Aldi terkekeh. Gadis ajaib. Dia memangis hanya karena mendengar pembicaraannya dengan Azka. "Lo aja yang aneh. Gitu doang baper," sahut Aldi sembari mengusap jejak air mata di pipi gadis itu.
Yua semakin terbang saja dibuatnya.
"Jangan geer. Gue gak mau aja dikira apa-apain lo. Ingat, Yua, ini di klinik."
Bibir gadis itu mengerucut seketika. Ingin Yua mencekik Aldi saja rasanya. Tapi nanti Aldi mati, Yua kesepian.
Nomor antrean masih panjang. Padahal sedari tadi Aldi sudah terlihat sangat kepayahan.
"Al, kita cari klinik lain aja. Kuat gak? Ini masih lama kayaknya."
"Gak usah, udah daftar juga."
Yua menghela napas panjang memilih menuruti pemuda di sampingnya. Daripada nanti Aldi berubah pikiran dan tak jadi berobat, lebih baik patuhi saja. Susah payah Yua membawa Aldi ke sini, jadi jangan sampai semuanya sia-sia.
Gadis itu ikut meringis melihat Aldi memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahnya, jelas sedang kesakitan. Sesekali tangannya bergerak mengusap punggung lelaki itu.
"Sakit banget, Al?"
"Hm." Aldi hanya bergumam sebagai jawaban. Jika saja kondisinya sedikit lebih baik, ia pasti tidak akan membuang uang dengan mampir ke tempat ini.
--tbc--
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Lose Hope
RomanceAldi punya banyak mimpi. Semua mimpinya dirancang dengan matang bahkan sebelum ia lulus dari SMA. Ironis, di saat semangatnya menggebu untuk meraih itu semua, berbagai kesulitan tampak semangat pula menghantikan langkahnya. Beruntung ia memiliki sah...