Suara alat pendeteksi detak jantung itu terus menyelimuti di dalam ruangan sunyi ini. Ruangan dengan wallpaper transformers di bagian dinding di dekat sebuah ranjang dengan sprei manchester. Laki-laki berwajah malaikat ini mulai mengerjapkan matanya. Hidungnya tertutup selang oksigen, tangan kirinya tertancap sebuah jarum yang terhubung dengan kantong ber-selang yang di gantung pada sebuah tiang penyangga. Bibir pucatnya kembali tertarik, mengukir senyum ikhlas sekaligus miris dan mengucap beberapa kalimat syukur. Mata hitam tajamnya menelusuri tiap sudut kamarnya. Tidak ada seorangpun yang terlihat oleh matanya.
“Semuanya tetep sama. Sama-sama tidak perlu untuk peduli. Lagipula, cepat atau lambat semuanya juga berakhir kan. Tidak sekalian saja dokter itu membiarkanku mati, dia bisa obatin orang lain kenapa dia hanya bisa mem-vonis anaknya mau mati?” Woohyun mengubah posisinya, duduk bersandar di bagian atas tempat tidurnya. Melepas selang oksigen yang melekat di hidungnya, kemudian mencari letak hanphone miliknya.
“Nah. Ini dia.” Lanjutnya saat sudah berhasil menemukan smartphone yang tergeletak di atas nakas hitam di sebelah tempat tidurnya.
“Missed call? Masih ada yang peduli dengan ku? Haha.” Dia tertawa dengan nada yang jelas-jelas sangat di paksakan.
“Sungyeol?” Woohyun menatap layar smartphone nya. Kemudian menghubungi nama yang tertera dalam daftar panggilan tidak terjawab di handphone-nya.
“Yakk, Ada apa?” Ujarnya saat sambungan telfonnya baru terhubung dengan lawan bicaranya.
“Tadi Eunji bilang kau kambuh? Sampai tadi tidak ikut terapi nya.”.
“Dengan atau tanpa itu juga pasti hidup ku sudah tinggal sisa hitungan jari Sungyeol.” Woohyun menatap kosong kearah depan. Mata hitamnya menerawang jauh, seakan menghitung mundur detik yang tersisa di hidupnya.
“ Makin tidak jelas perkataan mu. By the way, Aku masuk kamar mu ya. Aku sudah di depan pintu kandang mu.”
“Kandang .. kandang.. Kau pikir aku ayam pakai di kandangin. Masuk lah, pakai izin segala.” Detik selanjutnya pintu berwarna hitam itu terbuka. Sebuah sepatu sneakers biru navi memijak di lantai marmer kamar ini.
“Sudah seperti mayat hidup saja kau Hyun. Ah iya.. Tadi Jiyeon mencari mu, Dia ingin menagih traktiran katanya. Dia bilang kalau kau sudah janji padanya. Jika MU kalah, kau akan mentraktir nya makan di kantin. Tapi, justru kau tidak masuk hari ini.” Ujar namja berbadan tinggi sekitar 183cm ditambah seragam ala Ravles International High School ini.
“Hahaha. Harusnya tadi aku masuk sekolah. Anyway, tadi tim basket jadi sparing?” Tanya Woohyun setelah menyelesaikan tawanya.
“Jadi lah. Masa tidak jadi hanya karena kapten sok tampan sepertimu. Haha, Ah Woohyun ah, Apa kau tidak ada cemilan? Aku lapar” Sungyeol.
“Ah, harusnya juga tadi aku bisa bantai tim sebelah. Cemilan? Itu cemilan!” Ucap Woohyun sambil menunjuk dua botol biru berisikan beberapa obat-obatan miliknya.
“Itu mah cemilan mu Woohyun, Aishhh.... Tidak adakah yang normal apa? Jangan-jangan sebentar lagi kau juga akan menawariku pecahan kaca lagi.” Sungyeol menempatkan dirinya di sofa maroon yang senada dengan karpet di kamar Sunggyu ini.
“Ambil lah di dapur. Kau fikir kamar ku ini cafee apa sampai ada makanan.”.
Sungyeol segera beranjak dari sofa maroon itu, baru tiga langkah kakinya berlalu suara nafas yang tersenggal membuatnya mengurungkan niatnya. Berbalik arah kemudian memasangkan kembali alat bantu pernafasan milik Woohyun.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY [√ COMPLETED]
FanfictionSaat sayapku sudah tidak mampu terbang, kamu harus tetap terbang. Dengan sayap yang membawamu berdiri di sini.