Maaf

900 33 0
                                    

Aku terdampar di hadapan waktu dan menatap sisa-sisa penyesalanku. Penantian begitu lama yang menguar di ingatan, membawaku ke masa-masa yang luput dari pandangan.

Ketika kita berbeda pendapat, suaramu terpanjat di celah-celah langit pekat. Matamu sudah lebih dulu kehilangan iba, dibanding hatimu yang baru kemarin menerjemahkan cinta. Aku berusaha menghitung akal yang masih tersisa. Apakah dinding-dinding pucat kamar ini bisa memberitahu kita tentang nurani?

Kau membiarkan aku kehujanan, sampai demam meranggas di keningku. Sederhananya kau tak peduli meski aku tengah menggigil dan memanggil. Sakitku bukan sesuatu yang bisa kaurasakan—itu pun terlihat dari caramu meninggalkan. Dan lagi-lagi aku menyesal pernah bertahan.

Di depan orang-orang lain, kau manis dan memajang senyum begitu ramah di bibirmu—bibir yang dulu pernah mesra mengecupku. Namun di hadapanku kau menjelma mimpi buruk yang bahkan tak mengerti bagaimana caranya tersenyum. Kau menggunakan bahasa yang tak mungkin berani kaugunakan di hadapan orang tuamu.

Ya, barangkali memang tak ada yang tahu kau semunafik itu. Aku pun menyesal pernah menerimamu apa adanya, jika kau bertahan dengan tiadanya etika. 

Aku berdoa suatu hari ada cermin yang sanggup mengingatkanmu akan kesalahan-kesalahan yang tak kausadari. Aku berdoa kau akan meminta maaf pada dirimu sendiri, sebab terlalu banyak kebohongan yang kaumungkiri.

Namun aku manusia, yang wajar, dan juga berbuat salah. Di sini—bila kau membacanya—aku ingin meminta maafku.

Maaf,
aku pernah mencintaimu.

(tulisan dari "Seseorang yang Menulis di Masa Lalu" dengan judul: I'm Sorry.)

-

Aku jatuh di persimpangan sepi; pada setapak ingatan tentangmu di kepalaku.

Di sana, kita pernah menjejak bersama; bicara tentang buku-buku, hal-hal yang kausuka, dan segala rencana yang kelak kita wujudkan di waktu yang akan tiba.

Namun, aku tidak menahu mengapa takdir begitu kejam—membakar  segala bahagia yang pernah kaunyalakan dan nyalang di dadaku.

Tiada lagi hangat. Hanya dingin yang sisa. Aku taktahu lagi lebih dingin mana hujan dan sepi yang hadir di antara kita—mencintaimu, aku takseperti dulu.

Aku harus pergi. Aku pasti meninggalkan luka. Meski kau tetap ingin bersama, aku hanya menjadi sebuah kelabu untukmu. Ada tak mencintai, pergi kaupun pertanyakan.

Pernah ada emosi jatuh di jalan itu. Yang kini menggersang di persimpangan sepi ini. Lalu, mengapa aku terjatuh di sini?

Kau ialah puisiku yang telah mati. Dibunuh oleh egoku sendiri. Aku salah, dan aku ingin menyerah. Kau takperlu melabuhkan maaf. Karena akulah, sebab air matamu meriak.

Maaf,
aku pernah meninggalkanmu.

(dibalas oleh Rere yang baik hati.)

—Ivanasha & Ariqy Raihan
9 September 2018

Dua NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang