Hari-hariku mulai berubah sejak aku berkenalan dengan Andi, aku sudah mulai melupakan sakit hatiku itu. Aku selalu tertawa bersamanya dan juga bisa marah padanya. Aku bisa dengan mudah mengekspresikan perasaanku. Melihatnya memainkan gitarnya dan mendengarkannya bernyanyi adalah hal yang paling menyejukkan hatiku. Aku mulai merasa ada yang aneh dengan perasaanku, tapi ku tepis semuanya karna aku tidak ingin merusak persahabatan kami.
Tiba-tiba bel istirahat berbunyi, membuyarkan lamunanku tentang Andi yang sedang bermain gitar. Seperti biasa Tyas mengajakku keluar kelas, tapi kali ini dia mengajakku ke kantin.
“Sas, ke kantin yuk!”, ajak Tyas.
“Males Yas, rame di tangganya itu lho mesti desak-desakkan kalo naik turun”, kataku.
Kelas kita memang ada di lantai atas. Sedangkan kantin berada di lantai bawah. Jadi untuk kesana butuh perjuangan ekstra saat melewati tangga yang selalu sesak. Atau mungkin hanya perasaanku saja yang memang tidak terlalu menyukai kerumunan banyak orang.
“Mulai deh malesnya, ayolah Sas, sekali-sekali, biar gak nitip mulu”, rayu Tyas.
“Oke-oke, aku ikut kali ini”, sahutku terpaksa.
“Eh, aku nitip donk”, tiba-tiba Puji sahabat kami ikut nimbrung.
“Aku juga deh”, Talitha pun ikut-ikutan.
“Hmmmm, kayaknya penyakit Sassy nular deh ke kalian”, gerutu Tyas.
“Novi sama Via gak sekalian?”, tawar Tyas.
“Aku lagi puasa”, jawab Via.
“Enggak deh, aku ntar nyicip punya kalian aja, hehe”, sahut Novi.
“Kayaknya mereka lagi diet Yas”, timpalku.
“Diet apaan? Kalo Novi sih iya butuh diet emang, lha si Via? Badan udah kayak lidi, diet buat apa lagi coba?”, Tyas menggerutu.
“Bawel amat tu mulut, udah sana cepet ke kantin, ntar kehabisan baru tau rasa!”, sahut Via sebel.
Sejak kelas sembilan, kami berenam memang dekat. Bahkan teman-teman kami yang lain menjuluki kami “THE SIX”. Entah kenapa mereka memanggil kami seperti itu. Mungkin karena kemana-mana kami memang suka bersama. Bahkan jika ada guru yang mewajibkan kami mengerjakan tugas dalam bentuk kelompok, kami selalu berada dalam kelompok yang sama.
Saat melewati kelas Andi, mataku melirik ke arah dia yang sedang asyik bermain gitarnya bersama kakak sepupuku, Gilang. Rupanya itulah alasan kenapa tadi dia cepat-cepat meninggalkan kelas kita menuju kelas sebelah begitu bel berbunyi, setahuku dia tidak bisa bermain gitar, mungkin dia ingin belajar dari Andi.
“Andai saja aku bisa melihat Andi bermain gitar hari ini”, pikirku.
“Ngelamun mulu, kenapa?”, tanya Tyas begitu sampai di kantin.
“Ah, nggak ada apa-apa kok”, jawabku.
“Udah semua pesenan anak-anak?”, lanjutku.
“Udah kok, mau balik ke kelas sekarang?”, tanya Tyas lagi.
“Ya kalo udah lengkap semua pesenan anak-anak, ya ayok balik ke kelas, ngapain lama-lama disini?”, timpalku.
“Yaelah, buru-buru amat sih, minumku aja belum abis, gak sabaran banget, pengen ketemu siapa sih di kelas? Andi ya?”, goda Tyas.
“Apaan sih Yas, nggak ada apa-apa kok aku ma Andi, beneran deh”, sahutku.
“Nggak ada apa-apa kok pipimu merah gitu? Hayooo?”, goda Tyas lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Puzzle Cinta Sassy
Roman d'amourBercerita tentang kisah cinta anak SMP yang katanya masih cinta monyet. Sassy dan Andi. Dua anak manusia yang berbeda sifat dan karakter. Dipertemukan dan dipisahkan atas nama takdir. Akankah kisah cinta mereka menjadi cinta yang sejati? Atau hanya...