Drown : Wafer

759 109 2
                                    

Taehyung benci wafer cokelat. Dia marah setiap melihat makanan itu dalam merek apa pun, entah di toko kecil atau super market. Sedang bagi Namjoon, wafer cokelat ada di urutan pertama makanan kesukaan. Dia akan memakannya sedikit demi sedikit dari pinggir. Bagian yang paling banyak karamel harus dinikmati pelan-pelan, begitu dia berdalih. Rasanya seperti melayang, lebih tinggi dari pesawat, lebih memabukkan dari vodka.

"Omong kosong."

Namjoon tertawa melihat Taehyung mendecih kesal.

Angin laut bertiup mengacak rambut Taehyung. Pemuda itu duduk di atas karang, memperhatikan Namjoon yang tengah asik berenang di laut dangkal. Dari kejauhan, nelayan-nelayan berdiri di geladak, menjaring ikan di atas kapal yang terombang-ambing di terpa angin. Namjoon menyipratkan air hingga Taehyung tersadar dari lamunan, lantas menatap wajah ceria Namjoon yang timbul tenggelam. Taehyung sendiri tak yakin apa tadi itu ombak yang menerjang karang, atau sekadar jentikan jari Namjoon yang iseng menghiburnya.

"Kau tidak mau ikut berenang?"

Taehyung menggeleng tak berselera.

"Airnya segar sekali meski asin."

Taehyung hanya menggeleng lagi, memperhatikan Namjoon asyik berenang di depannya.

"Kau sudah besar, kenapa masih main air."

Namjoon terbahak mendengarnya. Lelaki itu menyelam dalam beberapa detik yang membuat Taehyung khawatir. Untuk pertama kalinya, Taehyung bergerak di atas karang kelam sewarna rambutnya. Dia membungkuk, mengulurkan ujung jarinya ke air, menampar-nampar permukaan yang beriak itu mencari keberadaan kakaknya. Namjoon muncul tiba-tiba, mencipratkan air ke wajah cemas Taehyung, lalu tertawa begitu saja. Lebar sekali sampai sepasang lesung pipitnya terlihat jelas.

"Ah, Hyung."

Namun, lagi-lagi Taehyung tak bisa membedakan, apa air yang membasahi wajahnya berasal dari cipratan yang Namjoon ciptakan, atau memang debur ombak yang menerjang karang. Taehyung pandangi wajah kakaknya, mencoba mencari jawaban. Rambut Namjoon basah berantakan, dia masih berenang dengan riang, seperti menari dengan gerakan asal dan kaku. Separuh tubuhnya di bawah air. Dada hingga kakinya terendam, sebentar lagi jadi air.

"Rindu itu perasaan yang istimewa karena hanya dapat dirasakan orang yang punya ingatan. Hyung percaya itu?"

Namjoon terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Riak ombak serta angin yang menderu menenggelamkan pertanyaan taehyung barusan. Mereka dekat, tapi juga sangat jauh. Mungkin karena itu Taehyung rindu sang kakak, meski pria itu berada tepat di depannya.

Namjoon mendongak, menciprat sedikit air ke wajah Taehyung. "Taehyung, lebih suka main ke mall atau alam?"

-o0o-

Usia kakak beradik itu terpaut tiga tahun.

Ketika Taehyung kelas lima SD, Namjoon duduk di kelas dua SMP. Di tahun yang sama, ibu mereka dinyatakan sakit. Ada sel abnormal yang terus memperbanyak diri dalam rahimnya. Kehidupan di pesisir pantai dan keterbatasan pengetahuan membuat penyakit itu terlambat disadari. Selama sembilan bulan, Taehyung dan Namjoon rutin pergi ke rumah sakit yang terletak di pinggiran kota.

Namjoon hapal kapan ibunya pergi ke kamar mandi untuk membuang kotoran, kapan pula ibunya disuapi, atau meringis kesakitan ditutupi senyuman. Taehyung melihat semuanya dari balik kaca. Dia masih kurang umur untuk masuk ke ruang intensif waktu itu. Jadi dia hanya bisa mengintip, dengan wajah dan dua telapak menempel, sesekali ia melambai kalau pandangannya dan sang ibu bertemu.

Taehyung yakin itu menyakitkan. Tapi ia tak pernah melihat ibunya menangis. Atau berangkali, ibunya memang tak mengijinkan siapa pun melihatnya menangis. Hingga hari itu datang, masih di tahun yang sama. Siang itu matahari berbayang di permukaan laut yang beriak. Namjoon sedang merapikan jaring ikan bersama Taehyung di beranda rumah. Tiba-tiba telepon berdering dari sang ayah.

Tragically BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang