Eglantine : Hiraeth

776 83 5
                                    



Tak ada yang berbeda dengan malam sebelumnya. Lelaki itu terus berada pada rutinitas yang sama. Membiarkan angin membisikkan sunyi, merasakan dingin yang mengelus tulang. Engsel jendela berkarat yang selalu terlupakan untuk diperbaiki, mencicit dalam waktu sepersekian detik. Satu hal yang berbeda dari malam ini hanya pada jam dinding yang berdetak sekarat. Bergerak di tempat yang sama tanpa enggan berpindah menunjukkan waktu yang sebenarnya.

Jarum jam menunjukkan angka empat selama sembilan jam yang dan ia masih terduduk di tepi ranjang sembari menatap keluar jendela. Pikirannya hanya berotasi pada satu hal yang masih ia coba cerna tiga hari belakangan ini.



Lelaki itu benar-benar bunuh diri, brengsek!



Dan ia tahu bahwa semua adalah kesalahannya. Ia hanya tidak menyangka ini akan terjadi, ia tak pernah tahu bahwa lelaki akan benar-benar mengambil pisau dan mengiris tangannya setelah ia menyumpahinya untuk mati. Sungguh, ia tak tahu dan kini dirinya terlalu larut dalam sebuah rasa sesal yang tak ingin ia akui.

---

Musim Panas. 27 July 2016.

Pengangguran.

Satu gelar yang tengah disandang lelaki bersurai coklat tua itu beberapa waktu belakangan. Tepatnya dua bulan lalu, saat dirinya dengan bodoh membuat sebuah proyek perusahaan gagal total dan berakhir dipecat dengan cara tidak terhormat. Baiklah, seorang staff biasa yang baru bekerja setahun membuat kerugian puluhan juta won itu sungguh menakjubkan, beruntung dirinya tak dituntut dan dimasukkan ke dalam penjara. Entah, perusahaan itu masih berbaik hati atau tak ingin sesuatu dari rahasia perusahaannya terkuak jika berurusan dengan polisi, jaksa dan tetek bengeknya. Tapi sekarang Seokjin –lelaki itu sudah tak peduli mengenai apapun dan menikmati waktunya dengan sangat baik.

Menjadi pengangguran ternyata cukup nyaman menurutnya, tak ada teriakan apapun, tak ada laporan, tak ada kertas bertumpuk yang membuatnya sakit kepala. Ia ingin merasakannya sedikit lama sebelum ibunya akan merengek meminta dirinya kembali mencari pekerjaan. Namun setidaknya dalam waktu dekat ini ia tak mau kembali. Toh bukan cuma ia pencari nafkah di keluarga ini, jadi dirinya masih bisa sedikit lebih tenang.

"Seokjin!"

Ia berbalik menatap pintu yang tertutup, menunggu wanita yang ia sebut ibu membuka beberapa derajat pintunya sembari menyembulkan kepala.

"Ibu akan ke rumah bibimu dan pulang sedikit larut malam. Kau tinggal memanaskan makanan kalau lapar."

Seokjin mengangguk dan kembali menatap layar laptop miliknya setelah ibunya bergerak pergi dari sana. Ia dengar bibinya baru saja melahirkan anak kelima, ia cukup takjub saat tahu bahwa bibi yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu sudah memiliki lima anak pada tahun kedelapan pernikahan bersama suaminya. Baik, lupakan hal itu, tak begitu penting.

"OH IYA SEOKJIN, RUMAH DI SEBELAH SUDAH ADA YANG MENEMPATI. KAU PERGILAH SAPA MEREKA!"

Lelaki itu memutar bola matanya malas, ia terlalu enggan meninggalkan kipas angin miliknya untuk sekedar berkata manis pada tetangga baru yang datang. Ini musim panas yang begitu panas dan ibunya berteriak hanya agar ia menyapa mereka. Sudahlah, lagipula mereka akan bertemu tanpa sengaja lain kali.

Lain kali dengan cara yang berbeda, mungkin saja.

.

.

.

Ini sudah kesekian kali dirinya berpikir, alasan untuknya ikut ke tempat ini. Ia kembali berpikir, mengapa ia begitu bodoh untuk ikut bersama wanita itu dan suami barunya yang selalu menatap Jungkook tajam. Seharusnya ia tak ikut dan memilih kabur ke rumah bibinya yang sering memasakkan makanan enak untuknya lalu bermain ke pantai bersama Jimin dan Jihyun, sepupunya.

Tragically BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang