Affair 4

792 81 3
                                    

Weekend.
Saat favoritku. Sehari istirahat di rumah, Johnny harus pergi pagi ini. Padahal ini weekend. Aku sebal sebenarnya, kenapa dia harus sibuk lagi? Seharian kemarin aku hampir lupa kalau kami pernah sama-sama sibuk dan pernah sama-sama tidak menyadari kehadiran satu sama lain. Bukan posesif, tapi aku ingin dipehatikan. Johnny itu manis sekali, siapa yang tahan.

"Harus pergi?" Tanyaku bergelayut di ambang pintu kamar. Johnny tersenyum sambil memasukkan beberapa buku ke tasnya. Sesaat, dia berjalan mendekatiku yang bersandar di dinding.

"Kalau sudah sampai, nanti akan ku beri kabar." Lalu ia mengecup dahiku. Aku menghela nafas.

"who is this guy again?" Aku serius masih belum paham siapa orang yang akan ditemuinya sampai rela meninggalkanku saat weekend

Johnny tersenyum sambil mengambil koper dan tasnya serta segera menaruhnya di ruang tamu.

"Dia ini adalah neurologist di Chicago,  ayahku sudah mengatur pertemuan kami sejak lama. Dan kemungkinan besar aku akan ke Chicago setelah selesai studi di sini untuk bekerja di rumah sakitnya."

Kaget? ya. Johnny tak pernah menyebutkan Chicago hingga pagi ini.

"Chicago? Kenapa kau tak pernah bilang padaku, John?"

Dia juga bingung kenapa aku bertanya dan kenapa harus dipermasalahkan.
"Maksudnya? Begini Wen, aku lulus sebentar lagi. Interview ini sangat penting. Maaf bila aku tak pernah menyinggung tentang Chicago."

Yah, terserah Johnny juga.
"Ya ya, aku tidak mau berargumen denganmu pagi ini. Sampai kapan di Chicago?"

Johnny sudah beranjak mengambil tasnya. Aku yang duduk diatas kopernya masih santai tak mau beranjak.

"Selasa pagi."

4 hari tanpa Johnny di rumah, pikirku. Ah, setiap hari juga ada Johnny tapi terasa tak ada dirinya. Ponsel Johnny menyala, ada notifikasi bahwa taksi yang ia pesan sudah sampai. Ia tersenyum padaku mengisyaratkan kalau dia menginginkan kopernya. Aku tak bergeming.

"Hei, setelah pulang dari Chicago. Kita harus dinner diluar,Wen. Itu janjiku." Ujarnya mengusap-usap rambutku. Aku masih tak mau bergerak.

"Wen.. tolonglah, nanti aku ketinggalan pesawat, sayang." Sekarang Johnny mengusap pipiku. Sebentar, aku menciumnya.

"Ya, ini. Ambil kopermu. Aku sudah tidak butuh lagi." Johnny tertawa mendengar ucapanku. Ia membuka lebar kedua tangannya, "Oh, jangan marah,Wen. " Ia memelukku. Aku menyudahi pelukan kami dengan pukulan kecil di dadanya.

"Sudah sana." Ujarku sambil tersenyum tapi juga sambil marah.

"Bye!" Ia tersenyum dan menghilang dari pintu flat kami. Dan, aku menutupnya.

Aku melirik jam dinding, pukul 11. Masih banyak waktu sebelum menemui Irene. Tapi dipikir-pikir, dia belum menelfonku lagi. Kubuka beberapa pesan dari Irene semalam. Oh penerbangannya jam 6 pagi, jadi masih sekitar 3 jam lagi dia sampai.

Cukup waktu untuk mandi dan mengerjakan skripsi. Satu persatu baju kutanggalkan, hah.. belakangan ini memang gerah. Aku memekik kecil saat air dari shower mengenai punggungku. Perasaan berdebar melekat sejak Irene mengabarkan akan ke New Haven hari ini. Sambil mengusap tubuhku, aku juga membayangkan apa yang akan Irene pakai nanti. Satu penampilan Irene yang menjadi kesukaanku, suit dengan rambut yang terikat rapih, leher jenjangnya.. and her jawline.  Entah bisa-bisanya disuatu hari yang sangat random, Irene memutuskan untuk mengenakan suit nya dan datang ke persidangan.. tanpa Irene sadari.. ia membuat anak magang yang sudah tunangan ini belingsatan perasaannya.
Lalu. Aktifitas mandiku.. berubah menjadi..
Sentuhanku mulai.. e-ehm.

Bibirku mendesis kecil.

Kita selesaikan di sini ya cerita mandiku. Kalian.. e-ehm.. t-tunggu di luar saja ya?

-
"Eehmmmm.. egrrhhhhh..

Kenapa tutup selainya susah sekali dibuka? Kalau tau begini, tadi harusnya minta tolong dulu ke Johnny sebelum dia pergi. Aku yang masih berbalut haduk dan rambut yang basah tiba-tiba saja merasa lapar selepas keluar dari kamar mandi.
Aku tau, aku tau. Iya, karena itu.

Karena tutup selai sialan ini tidak bisa dibuka, aku memutuskan untuk makan roti tawar saja. Rasa lapar membuatku lapar dan marah. Segera aku mengeringkan rambut. Butuh waktu kira-kira 15 menit lebih untuk mengeringkan rambut ini.. ah! Perasaanku ini! Masih berdebar. Aku melirik jam dinding. Marah rasanya, masih jam 12.06 , bahkan Irene masih entah berada diatas dataran Amerika sebelah mana.

Aku tidak sabar! Tidak sabar bertemu Irene, astaga.. rasanya jadi ingin marah. Kutanggalkan handuk yang membalutku. Pakai pakaian santai saja dulu lah. Kegiatanku setelah ini juga tidak jauh dari merampungkan pembahasan di skripsiku.

Sejak otakku ini terpapar Virus Irene, bukannya semakin rajin merampungkan bab pembahasan.. tapi malah semakin malas. Kecuali, Irene ada di sini.. didepanku. Ah aku bisa membayangkan bagaimana ia mengkoreksi isi skripsiku, dengan wajah seriusnya membaca buku referensi yang kugunakan. Sadar, Wendy Son. Ada atau tidak Irene kau harus tetap mengerjakan skripsi ini.

Playlist favoritku mulai kuputar. Aku mulai fokus pada laptop didepanku. Sampai waktu yang sangat lama. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Mataku mulai berat dan akupun merebahkan diri ke kasur.

Sampai, aku tertidur.

Ponselku berbunyi. Aku menguap.
"Aaaaaaah, siapa ini yang telfon sih?"

6 Missed Call From Johnny
2 Missed Call From Irene Bae
7 Texts from Irene Bae
1 Texts from Johnny

Incoming Call From Johnny..

Astaga, lagu di playlistku masih terputar.

"Hei sayang..." suaraku terdengar parau.
"Sedang diluar? Aku telfon berkali-kali." Johnny seperti berbicara di keramaian.
"Aku ketiduran, John.. kamu sampai jam berapa?" Tanganku mematikan playlist lagu di laptop dan menyimpan perubahan terakhir pada skripsiku.
"Sekitar sejam yang lalu. Jam 4. " Mataku terbelalak kaget, sejam yang lalu itu jam 4?
"Ehmm ya, take care ya disana. Aku harus membereskan kekacauan ini. Aku ketiduran saat mengerjakan skripsi. " Tidak ada yang kacau padahal. Aku berhasil menambahkan 5 halaman baru di pembahasan skripsiku. Sebuah kemajuan baik dari mahasiswi yang ketiduran saat menggarap skripsi.
"Oh ya, istirahatlah. Ini weekend. Take time for yourself, Wen."
"Bye, John. " Sesaat setelah telfon tertutup. Aku melihat pesan dari Irene. Benar, sudah sejak jam 2 ia mendarat. Sekarang ia sedang membahas kasus McMohan dengan Prof James dan Associates yang lain. Apa ia akan mengangkat telfon?

Nada tunggu terdengar ditelingaku.
"Ya Wen?" Irene terdengar sibuk.
"Apa aku mengganggu?" Aku merebahkan diri lagi ke kasur.
"Noooooo. Tidak, Sayang. Aku hanya sedang membaca-baca berkas dan berdiskusi dengan Prof. James di rumahnya." Irene izin untuk keluar ke  beranda rumah untuk melanjutkan telfonnya.
"Kita jadi ketemu jam berapa? Aku masih bangun tidur siang. Good News,  aku menambahkan 5 halaman ke pembahasan." Irene tertawa.
"Bagus dong, keep it up,Sayang. Emm.. jam 6.30?"

6.30 itu satu jam lagi..,
"Jam 7 aja ya? Aku masih belum apa-apa. "

Percakapan telfon kami selesai disaat Irene harus kembali membereskan beberapa berkas bersama Prof. James.

Dan aku? Dengan cepat siap-siap untuk bertemu Irene.

The Good Affair | Red Velvet • WenreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang