Live and Learn; Chapt 1

22 2 0
                                    

Setelah kami berdua naik, Arta langsung melaju menuju rumah Adara terlebih dahulu. Karena kawasan perumahan Adara terletak sebelum perumahan ku. 20 menit berlalu, kini kami telah sampai di rumah Adara. Setelah berpamitan dengan Adara dan Bunda, tinggalah kami berdua di mobil. Hening, tidak ada percakapan. "Nta," aku hanya berdeham, "Kalau misalkan lo jadi pacar gue gimana ya?" aku menoleh dan langsung menghujani Arta dengan tatapan tajam. "Apaansih, ngaco." Arta malah terkekeh mendengar jawaban ku, "Ya gimana ya, kan masih kalau, tapi beneran juga gapapa deh. Jadi, mau gak jadi pacar gue?"

Aku hanya diam, tidak menanggapi kata-kata Arta. Ritme jantung ku mungkin sudah 2 kali lebih cepat dari biasanya, ada perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuh ku ketika Arta menyatakan hal tadi. Setelah pernyataan nya tadi dia hanya diam tidak menambah kata lagi seperti biasa yang dia lakukan, kami hanya membisu dan merasa kikuk sampai tujuan. Setelah turun dari mobil Arta, aku hanya mengucapkan terimakasih. Seolah tidak peduli dengan kata-kata Arta di mobil tadi.

...

Sejak pernyataan Arta 3 hari lalu, aku memilih untuk menghindari nya. Entah mengapa, mungkin karena aku belum bisa menerima nya. Aku selalu saja teringat dengan Arta, bahkan di saat aku sedang mengerjakan pr ekonomi ku saat ini. Materi ini tidak sulit, aku bahkan dengan mudah mengerjakan nya. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal di pikiran ku, sehingga rasanya begitu berat untuk membuat aku berpikir, bahkan sedikit saja. Arta, kenapa semuanya jadi begini sih?

Drrtt, drrtt, drrtt..

Ada dua notifikasi masuk dari Instagram, aku memilih untuk melanjutkan tugas ku ketimbang langsung mengeceknya. Tinggal satu soal lagi yang harus aku kerjakan.

Drrtt, drrtt, drrtt..

Handphone ku bergetar, pertanda notifikasi masuk. Lalu aku memutuskan untuk langsung mengeceknya.

unknown.user

Gausah sok cantik deh lo!

Dengan lo nge jauhin Arta sama aja Lo bikin dia sedih, dan kalo ada orang yang bikin dia sedih artinya dia ngibarin bendera perang sama gue.

Peperangan baru aja di mulai, Antari Fredella!

Welcome to the real game, Antari😈

Setelah membaca pesan masuk itu, aku tidak membalas pesan tersebut. Aku terdiam, dan mulai mengatur napas ku yang mulai terpacu. Pikiran ku sangat kacau, kenapa setiap aku ingin hidup tenang ada saja masalah yang menimpaku?

Ku ambil headset yang berada di laci samping kasur ku, ku pasangkan pada handphone ku lalu ke dua telinga ku. Aku segera memutar lagu Safe And Sound milik Taylor Swift. Suara musik yang mengalir di telinga ku begitu deras, selaras dengan rasa gelisah yang ku rasa. Seperti tidak ada celah kebahagiaan di hidup ini, apapun yang aku lakukan seperti tidak punya akhir bahagia. Aku tidak ingin hidup dalam situasi yang selalu seperti ini, tidak ingin.

Suara teriakan dan pertengkaran hebat sayup-sayup masuk ke telinga ku, ku kira perang yang dulu bergemuruh telah usai. Namun, kenyataannya perang itu belum usai. Aku semakin merekatkan headset ku, dan mengeraskan volume lagu agar tak terdengar lagi suara pertengkaran itu. Aku tidak punya energi lagi untuk bahkan sekedar berteriak meminta ayah dan abang berhenti bertengkar, aku sudah tidak sanggup. Aku memutuskan untuk merebahkan badanku di kasur, memejamkan mata, dan membiarkan ku masuk ke dunia mimpi. Aku bahkan akan sangat bersyukur bila aku tak bisa bangun lagi esok pagi.

...

Rasanya hari ini aku malas untuk berhadapan dengan dunia ku lagi, aku tidak ingin beranjak dari dunia mimpi ku. Semua yang ku hadapi di dunia nyata lebih semu dibandingkan yang ada di dunia mimpi. Kebahagiaan yang semu, kesedihan yang menyelimuti bak kabut yang tak pernah hilang. Pagi ini awan tak bersinar cerah, abu-abu yang terlukis di langit mungkin adalah penggambaran yang tepat bagi apa yang ku rasakan saat ini. Entah mengapa aku memilih untuk berjalan kaki sendirian menuju sekolah ku, aku hanya ingin menikmati sunyi dalam ramainya kota ini.

Setitik air hujan menetes di wajah ku, perlahan ku dongakan kepala ku dan melihat air hujan yang sedikit demi sedikit berjatuhan. Semakin lama air hujan semakin deras, aku putuskan untuk menunggu hujan reda di halte terdekat. Aku berlari menembus hujan secepat yang ku bisa, setibanya aku di halte aku lalu duduk dan menunggu hujan reda. Bola mata ku menerawang ke sekitar halte, ku lihat seorang laki-laki yang kira-kira seumuran dengan ku yang memakai kursi roda berusaha mendekat ke halte. Ku putuskan untuk menaruh tas ku, dan berlari ke arahnya lalu membantunya untuk berteduh di halte.

"Sini biar gue bantu." Aku mendorong kursi roda nya, lalu menuju ke halte untuk berteduh. Sesampainya kami di halte, aku langsung mengeluarkan jaket yang berada di tas ku untuk mengeringkan badannya. "Makasih ya, gue kira udah gak ada lagi istilah bidadari tanpa sayap.", aku menggeleng pelan dan tersenyum, "Gue bukan bidadari, gue cuma manusia yang kebetulan nolongin Lo tadi. Oh iya, nama gue Antari. Nama Lo siapa?", ucapku lalu mengulurkan tangan. Yang ditanya lalu menyambut uluran tangan ku, "Nama gue Alfaro.", jawabnya seraya tersenyum.

"Euum, kok lo bisa sih pergi sendirian kayak tadi? Maksud gue, itu bahaya tau, apalagi musim hujan kaya gini. Untung aja tadi gue liat lo, kalau engga gimana coba?", Alfaro menatap ku dengan tatapan yang sulit di artikan. "Engga apa-apa Antari, gue cuma habis beli obat untuk adik gue. Gue udah biasa kok pergi sendirian, cuma karena hujan aja jadinya agak susah bergerak nya.", aku menghela napas ku dan menyadari betapa kuatnya Alfaro, dia bahkan tidak mengeluh sedikitpun.

"Maaf Al, gue mau tanya sesuatu boleh?", Alfaro mengangguk pelan. "Sejak kapan Lo pakai kursi roda?", dia terdiam dan menghela napasnya. "Eh eh, gue gak bermaksud untuk menyinggung lo. Kalau emang gak mau jawab, gak apa-apa kok Al. Maaf yaa.", ucap ku pelan. "Gak apa-apa kok, gue gak tersinggung. Jadi saat gue berumur 5 tahun, gue dan keluarga gue mengalami kecelakaan mobil. Kedua orang tua gue wafat, dan cuma gue yang selamat pada saat itu. Gue selamat dalam keadaan luka parah, dokter memvonis gue mengalami kelumpuhan permanen di kaki. Karena kondisi gue yang kaya gini, keluarga dari ayah ataupun bunda gak ada yang mau ngurus gue.", aku menutup mulut ku dengan tangan kanan ku, tidak percaya dengan apa yang ku dengar barusan. Manusia di samping ku ini bahkan mengalami nasib yang lebih buruk dari aku, dan tidak mengeluh sama sekali. Sedangkan aku yang mengalami lebih sedikit masalah, bahkan terus mengeluh? Manusia macam apa aku ini?

"Jadi sekarang lo tinggal sama siapa, Al?", dia mengusap rambutnya yang basah, "Gue tinggal di Panti Asuhan bersama 'keluarga' baru gue, dan gue bersyukur atas apa yang gue miliki saat ini.", aku terdiam mendengar kata-kata yang keluar barusan dari mulut Alfaro. "Antari, hujan nya udah reda nih, lo gak mau berangkat ke sekolah?", aku menoleh ke Alfaro, lalu ke arah langit. Tiba-tiba sebuah ide muncul di otak ku, "Euum, gue mau ikut lo aja deh.", kata ku lalu tersenyum. Alfaro lantas mengernyit bingung, "Eh? Emang gapapa?", aku mengangguk yakin.

...

To be continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Let Me Show YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang