Bab 1: Bukan Mimpi

47 7 0
                                    


                Angin dingin menerpa lembut wajahku yang memerah. Aku menutup mulutku dengan jemari tangan yang agak gemetar, setelah mendengar apa yang dia katakan. Kalimatnya terngiang di kepalaku, memenuhi setiap jengkal pikiranku. Sesaat aku merasa pesta meriah di dalam sudah tidak terdengar lagi. Dan pemandangan indah kota Hong Kong dari atas lantai dua puluh lima ini terkalahkan oleh kalimatnya barusan. Sebuah kalimat permohonan yang membuat jantungku berdebar lebih cepat, dan perasaan tidak menentu bergejolak dalam hatiku. Sebuah kalimat yang merubah seluruh kisah hidupku. Kalimat yang tidak kusangka akan terucap oleh bibirnya. "Will you marry me Verallie?"

Aku memegang pagar balkon, sambil tetap memandang wajahnya yang memerah. Angin kembali bertiup, membuat rambut panjang sepunggungku bergoyang. Jantungku berdebar amat cepat, sampai-sampai aku takut lelaki di depanku akan mendengar debar jantungku. Pesta peringatan hari ulang tahun salah satu kawan dekatku, Aaron, tertinggal begitu saja di belakang. Aku sudah tidak memerhatikannya lagi. Fokusku hanya pada satu titik. Pria di depanku.

Aku masih tidak menyangka dia akan mengatakannya sekarang, di sini. Aku belum siap, aku harus menjawab apa? Pikiranku kacau. Apa yang harus kujawab?

"Kamu tidak harus menjawabnya sekarang," ucapnya lembut, sambil menggenggam kedua tanganku. Seakan tahu isi pikiranku yang kacau ini. "Aku akan menunggu. Aku tahu ini mendadak." Lanjutnya.

Aku menelan ludah. Aku harus menjawabnya sekarang, pikirku. "Iya, baiklah." Ucapku mantap, namun pelan, antara terdengar dan tidak. Namun aku tahu dia mendengarnya.

Dia memelukku erat, seakan tidak ingin aku pergi dari tempat itu. Aku amat senang, sekaligus terharu. "Terima kasih." Bisiknya lembut di telingaku.

Aku membiarkan tubuhku dipeluk erat olehnya. Angin bertiup kesekian kainya. Membuat cocktail dress berwarna biru muda milikku dan rambut hitam sepunggungku kembali bergoyang. Aku sangat senang.

***

Penerbangan empat jam itu, tidak membuatku tertidur, aku tidak mengantuk.

"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan di balkon kemarin malam Rallie?" Tanya Mio -sahabatku saat aku bersekolah di Jepang- penasaran. "Kenapa sikap kalian menjadi berubah? Biasanya kalian tidak secanggung ini." Lanjutnya. Aku tidak menyangkal perkataannya, karena dia benar. Aku tidak pernah secanggung ini dengan Azaka. Meskipun kami tetap duduk bersebelahan saat ini. Namun kami tidak saling pandang, apalagi berbicara.

"Iya, Rallie, aku juga ingin tahu. Kalian seakan hilang dari pesta itu." Timpal Keiko, saudara kembarnya. Aku menatap Azaka, yang bukannya memikirkan alasan, malah masih santai membaca e-mail di laptop, yang berada di pangkuannya. Aku mendesah dalam hati, mereka selalu saja memojokkanku bersamaan.

"Rallie?" Ujar Mio, membuyarkan lamunanku.

"Iya?" Seruku, tanpa sadar, yang membuat semua orang menatapku bingung. "Eh? Maaf. Aku, eh, kami kemarin malam hanya menatap jalanan kota Hong Kong, karena bosan dengan pesta di dalam, Mio." Ucapku sedikit tergagap. Aku kembali mengutuk diriku, juga Azaka, yang sekarang malah menahan tawa. Nyengir ke arahku.

"Kamu tahu soal itu. Maksud kami, apa yang kalian bicarakan, sampai kalian canggung seperti ini." Mio kembali melontarkan pertanyaan, mendesak. Seperti biasa.

"Canggung? Kurasa kami tidak canggung. Lihat, kami masih duduk bersebelahan." Ucapku sambil tertawa sumbang.

"Tapi kalian tidak saling bicara, ataupun bertatapan selama dua jam terakhir."

TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang