Bab 3: The Wedding (Part 2)

9 4 0
                                    



"Apa yang kalian lakukan? Apakah kalian tidak memeriksa seluruh tempat?" Bentak Azaka kepada salah satu letnan. "Zahir, kamu juga, apakah kamu tidak memperketat pengamanan? Apakah kamu tidak sadar bahwa hari ini kami menikah?" Azaka malah memarahi Zahir juga.

Zahir menggeram pelan lantas berseru, "kalian, cepat cari sniper tersebut, jangan biarkan ia lolos." Belum habis seruan Zahir, 2 letnan yang berada di situ segera meneriaki anak buahnya dan segera mencari sniper tersebut. Tanpa disuruh, Keiko dan Mio sudah bergerak cepat, ikut mencari sniper tersebut.

Suasana di taman tersebut berubah seratus delapan puluh derajat. Aku kesusahan berlari mengikuti langkah Azaka karena mengenakan gaun pernikahan berwarna putih dan mengenakan high heels setinggi 5 cm. Sejak saat itu aku mengutuk high heels.

Para tamu segera berhamburan meninggalkan taman tersebut. Para ajudan beberapa CEO atau orang penting, segera mengamankan bos mereka, dan pergi meninggalkan taman tersebut. Semua orang panik, begitu pula aku dan Azaka. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang, di mana Keiko dan Mio? Kuharap mereka baik-baik saja.

Baiklah, saatnya aku memikirkan diriku sendiri, karena susah berlari, aku melepas high heels ku dan melemparnya sembarangan. Sekarang lebih baik, aku bisa berlari lebih cepat. Namun, seseorang dari belakangku segera menarik lenganku sekuat tenaga dan meletakkan sebilah pisau di leherku. Azaka yang sadar bahwa aku tidak ada di sampingnya lagi segera menoleh dan menggeram keras melihat kejadian tersebut.

"Diam kau atau istrimu ini tidak akan selamat." Orang tersebut mendesis keras, membuat pergerakan Azaka terhenti. Pria itu mengenakan kedok jadi aku tidak bisa melihat wajahnya, kecuali kedua matanya yang menatap tajam.

"Apa yang kau inginkan?" Tanyaku dalam bahasa Inggris fasih. Dia jelas bukan orang Inggris maupun Indonesia. Perawakan dan logatnya yang menunjukkan itu.

"Menculikmu." Jawabnya tegas, lantas segera membawaku pergi. Aku berteriak, sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari leherku. "Diam kau." Desisnya.

Saat dia sedang kesusahan menyuruhku diam, Azaka segera menarik kasar tangannya yang terlepas sekian senti dari leherku. Lantas menjatuhkan pisau yang dipegang oleh pria tersebut. Si pria segera mengambil revolver dari balik baju hitam-hitamnya. Melihat hal tersebut aku segera memutar tubuh dan berhadap-hadapan dengannya. Aku segera menendang tangannya yang mengacungkan revolver yang belum terarah sempurna ke kepala Azaka. Revolver itu terjatuh dan aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan salah satu tendangan Tae Kwon Do. Yaitu Naeryo Chagi. Dan membuatnya segera terkapar. Aku mendengus pelan. Meskipun mengenakan gaun aku tetap bisa menendang dengan bebas, karena terdapat belahan di sisi kanan, dan aku mengenakan celana pendek, jadi aman-aman saja.

Azaka langsung memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menggendongku dan berlari menuju mobil jeep terdekat. Lantas segera pergi meninggalkan acara pernikahan tersebut.

***

Aku menghembuskan napas lega. Kami sedang dalam mobil menuju bandara. Meskipun seharusnya kami seharusnya menuju bandara sekitar 2 jam lagi, tapi karena insiden tadi, perjalanan ini dipercepat.

Lima belas menit kemudian kami sampai di bandara. Kami langsung masuk ke pesawat jet pribadi Azaka. Setelah memasang seat belt, aku menyandarkan punggungku ke kursi pesawat, dan langsung menaruh pandangan pada jendela di sebelahku.

"Apakah kamu baik-baik saja Rallie? Lenganmu sakit?" Tanya Azaka sambil menatap lenganku. Aku menoleh -ikut menatap lenganku. Azaka benar, lenganku merah karena dicengkeram oleh pria itu saat aku dipaksa jalan ke sebuah mobil sedan hitam. Lumayan sakit, namun aku bisa menahannya.

"Agak. Tapi aku baik-baik saja Aza." Ucapku sambil tersenyum, Azaka menggagguk, lantas membelai lembut rambutku dan mencium keningku.

"Maafkan aku, aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Padahal baru satu jam kita menikah." Ucap Azaka sambil menatapku sedih.

Aku menggeleng, "bukan salahmu, Aza, tidak ada yang salah." Aku tersenyum, mencoba menenangkan Azaka. Azaka akhirnya ikut tersenyum dan memutuskan untuk tidur. Aku juga mengikuti teladannya, perjalanan dari Jakarta ke tempat yang kami tuju membutuhkan waktu sekitar empat jam. Jadi dengan semua kekacauan ini kurasa tidur akan membantu.

Meskipun aku sangat penasaran siapa sniper yang mencoba untuk membunuh Azaka, dan pria yang mencoba untuk menuclikku. Kurasa mereka dikirm oleh seseorang, karena jika mereka adalah seseorang tersebut, mereka pasti tahu bahwa aku dan Azaka sulit dikalahkan, dan dia tidak ingin tertangkap basah seketika. Tetapi siapa orang tersebut? Atas dasar apa? Bagaimana dia bisa mengetahui keberadaan kami? Pertanyaan-pertanyaan tersebut aku singkirkan terlebih dahulu, karena aku tau jati diri orang tersebut cepat atau lambat akan terungkap. Aku hanya perlu bersabar.

Ponselku bergetar, aku melihat layar ponsel dan ternyata sesuai dugaanku, Zahir pasti menelepon untuk menanyakan kabarku.

"Aku baik-baik saja, Zahir." Jawabku sebelum ditanya, Zahir tertawa pelan di seberang sana, mendengar jawabanku. "Azaka juga baik-baik saja. Kami sedang dalam perjalanan menuju pantai tersebut." Lagi-lagi aku menjawab tanpa ditanya. Zahir -kurasa- mengagguk senang mendengar hal tersebut. "Kamu sedang berada di mana?" Tanyaku.

"Sama sepertimu."

"Bersama Keiko, Mio, dan Aaron?" Tanyaku lagi.

"Iya. Rallie, sebaiknya kamu tidur saja sekarang. Sampai jumpa nanti." Pamit Zahir. Aku mengangguk sambil menjawab salam.

Baiklah waktunya tidur, aku lantas memjamkan mata, dan dalam sekejap sudah terlelap.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang