Bab 2: Malam Terakhir

30 6 0
                                    

Satu jam kemudian lampu seat belt dimatikan. Kami segera melepas sabuk pengaman, lantas segera meninggalkan pesawat. Di bawah, mobil Rubicon putih sudah menunggu penumpangnya. Aku dan Azaka segera masuk dan memasang sabuk pengaman. Azaka segera menginjak pedal gas, dan menjalankan mobil. Setengah jam kemudian kami sampai di tempat Ayah.

Aku segera turun dan berlari-lari kecil melintasi halman rumput yang terpangkas rapi, menuju rumah dengan teras indah, karena terdapat pot-pot bunga yang sengaja digantung oleh Ayah, untuk mengingat Ibu, yang sangat menyukai bunga.

Saat aku masuk ke dalam rumah dan melintas ruang keluarga, langkahku terhenti. Ternyata sudah ada beberapa tetangga yang datang menjenguk Ayah. Ayah memang terkenal baik dan dekat dengan siapa saja di sekitar rumah.

"Tuan Hamzar sedang tidur, Rallie. Tadi beliau sempat kejang, dan memanggil namamu dan Azaka." Kata salah satu tetangga, yang tadi meneleponku. Aku segera berjalan cepat meninggalkan ruang tengah.

Aku berjalan cepat menuju kamar Ayah, melintasi lukisan keluarga kami. Setelah sampai di depan kamar Ayah, aku segera memegang gagang pintu kamar dan memutarnya. Dan melihat Ayah terbaring lemah di atas ranjang, di samping jendela besar yang dicat putih itu. Aku mendekatinya.

"Ayah baik-baik saja, Vera." Ucap Ayah pelan sebelun kutanya. Aku tersenyum, mengagguk. "Bagaimana persiapan pernikahan kalian?" Tanya Ayah sambil memegang punggung tanganku. Aku sudah duduk di pinggir ranjang Ayah. Mataku terasa panas.

"Seharusnya kami yang memikirkan pernikahan kami, Ayah. Bukan Ayah. Sampai-sampai Ayah sakit seperti ini." Ucapku tersendat.

"Ayah tidak sakit karena memikirkan pernikahan kalian, Vera." Ayah tersenyum.

"Ayah tidak perlu berbohong, Vera tahu, Ayah hanya sakit karena memikirkan sesuatu atau ada hal yang mengganjal pikiran Ayah. Vera tahu pernikahan ini mendadak. Itu sebabnya Ayah kepikiran, dan jatuh sakit." Suaraku bergetar, aku mulai terisak. Ayah selalu saja bilang begitu, bilang bahwa ia baik-baik saja, kenapa ia tidak bisa jujur saja bahwa ia sakit?

"Vera, bisakah kamu menyiapkan makan malam untuk kita makan bersama?" Ayah mengabaikan isakanku, lembut menatapku.

"Tuan Hamzar masih sakit, seharusnya Tuan tiduran saja." Saran Azaka. Aku mengagguk setuju. Namun Ayah justru menggeleng.

"Pertama, Aza, kamu bisa memanggilku Ayah, mulai sekarang." Ayah tersenyum sambil menatap wajah Azaka. "Kedua, kepalaku justru pusing jika aku terus tiduran di ranjang ini, Vera, Aza."

Baiklah, aku menggagguk. Lantas bangkit dan berjalan gontai keluar kamar.

***

"Ayah akan baik-baik saja kan, Aza?" Tanyaku setelah sampai di dapur, sambil mengusap pipiku. Entahlah, setiap Ayah sakit aku panik. Karena Ayah hanya sakit saat memikirkan suatu masalah dengan berlebihan.

"Tenang saja, Rallie, Ayah akan baik-baik saja. Jangan kamu pikirkan." Ucap Azaka sambil menatapku lembut. "Sebaiknya kamu menyiapkan masakan saja." Dia tersenyum. Aku mengangguk lemah.

"Sebaiknya kamu mandi dulu, Aza. Ada beberapa pakian ganti di kamar kak Alex dulu." Aku tersenyum. Kak Alex sudah meninggal saat umurku tujuh belas tahun. Azaka mengangguk, lantas berjalan menuju kamar kak Alex. Azaka sudah sering ke sini, jadi ia sudah hapal setiap sudut rumah ini.

"Perlu bantuan?" Tanya Mia, dia seumuran denganku. Dan dia yang tadi meneleponku. Aku mengangguk. Berusaha tersenyum sebaik mungkin. "Tenanglah Vera, Ayahmu hanya sakit demam biasa." Ucapnya sambil mencuci tangannya, bersiap memasak.

TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang