Bab 3: The Wedding

11 2 0
                                    


Seberkas cahaya matahari mendarat di wajahku, masuk melalui sela-sela gordyn. Membuat mataku terbuka perlahan. Aku mengerjapkan mataku. Aku menaruh kedua telapak tanganku ke wajah, menghela napas perlahan. Hari ini kebahagiaan dan kesedihan datang bersamaan. Hari ini, hari pemakaman ayahku dan hari pernikahanku.

Ingin rasanya aku melarikan diri ke negara lain, mengganti nama, dan menjadi 'bayangan'. Namun tidak, aku harus kuat menghadapi semua ini, bisa jadi –dan semoga- ini adalah ujian 'kenaikan level' yang diberikan Tuhan kepadaku. Untuk mengetes seberapa kuat diriku. Dan aku yakin aku bisa melewati ujian iini dengan nilai baik.

Aku meletakkan kedua telapak kakiku di atas lantai yang dingin. Perlahan bangkit, berjalan gontai ke arah pintu. Memegang gagangnya, memutarnya perlahan. Pintu terbuka perlahan. Sepi. Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membasuh mukaku. Hatiku terasa sedikit sakit melihat foto-foto yang digantung dan semua foto itu berisi kenangan-kenanganku bersama keluargaku yang sudah meninggal. Aku terdiam menatap sebuah foto keluarga yang dipasang di ruang keluarga. Di foto itu kami semua tersenyum, bahagia, tidak memikirkan masalah apapun. Namun itu foto saat aku berumur delapan. Aku tersenyum tipis memandangnya.

Setelah membasuh muka, aku memutuskan untuk menatap matahari terbit dari puncak sebuah menara tua di dekat rumah. Aku tidak tahu dulunya menara itu menjadi bangunan apa. Banyak yang bilang dulunya itu menara mercusuar, menurutku itu tidak mungkin karena jauh dari laut, namun sudahlah, aku percaya saja.

Aku tiba beberapa menit kemudian, tempat ini merupakan tempat yang paling sering kukunjungi jika aku sedang ada masalah, atau sekedar menenangkan diri. Matahari mulai keluar dari tempat peristirahatannya. Biasanya hatiku terasa lebih hangat saat menyaksikannya. Namun sekarang aku hanya menatap kosong matahari tersebut. Aku memejamkan mata lalu mengembuskan napas panjang.

Angin bertiup lembut, membuat rambutku tersibak, tanganku menghalangi anak rambut yang menusuk-nusuk mataku. "Ternyata dugaanku benar." Ucap sebuah suara di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Azaka sedang tersenyum menatapku. Azaka melangkah mendekat, matanya menatap matahari terbit, mulutnya membentuk senyuman manis, namun matanya menatap kosong matahari yang perlahan semakin meinggi. Aku yakin dia juga sedih dengan kematian Ayah. Ayah sudah banyak membantu Azaka. "Jadi, apakah kamu sudah siap?" Tanya Azaka yang telah sempurna berdiri di sampingku.

"Tidak bisakah kita menguburkan Ayah terlebih dahulu?" Tanyaku pelan. Azaka terlihat berpikir mendengar jawabanku, aku tahu pertanyaanku akan mengakibatkan kemunduran waktu pernikahan bila Azaka menjawab 'boleh.' Namun aku yakin ia akan menjawab boleh, aku yakin Azaka pasti ingin ikut menguburkan jasad Ayah. Azaka sudah 3 kali tidak ikut penguburan orang-orang tersayangnya, benteng keberaniannya. Aku yakin ia tidak akan melakukannya lagi untuk keempat kalinya. Dan benar dugaanku, Azaka mengagguk. Aku tersenyum senang.

Kami turun setelah matahari sudah lumayan tinggi. Pukul 07.00. Aku segera mandi dan melahap sarapanku, sebenarnya selera makanku nyaris tidak ada, namun aku harus tetap memaksakan makan. Piringku tandas 15 menit kemudian.

Semua orang sudah berkumpul untuk menguburkan jasad Ayah. Penguburan dilakukan setengah jam kemudian. Setelah semua persiapan selesai, kami segera menuju tempat pemakaman.

Aku terduduk diam menatap batu nisan yang teronggok bisu. Semua orang sudah beranjak pergi, kecuali Azaka. Beberapa orang menepuk pundakku, atau mengelus kepalaku, memeberi kekuatan. Aku hanya tersenyum simpul, tidak menanggapi.

Aku tidak menangis, sudah lelah aku menangis. Sudah cukup aku menangisi kepergiannya. Buat apa aku menangisinya terus? Toh itu tidak akan membuatnya bangkit kembali, hanya membuang tenagaku saja. Aku masih membutuhkannya. Aku harus menyimpannya, untuk pernikahan nanti.

TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang