Prolog.

995 65 8
                                    

"Aku masih bingung dengan perkataanmu yang membenci juga mencintai lautan."

"Itu bukan tentang diriku."

"Lalu?"

"Diri manusia."

"Saga.."

"Iya, diri manusia."

"Termasuk aku?"

"Mungkin."

"Maksudmu?"

"Bukankah Candra adalah makna rembulan? Aku membencimu karena gelombang pasang yang membuat perahu-perahu enggan untuk datang."

"Lantas bagian mencintai?"

"Tubuh bulan paling tabah dan terang-terangan menemani tubuh cairku."

"Tubuh cairmu?"

"Iya, aku adalah laut."

Malam itu, Sagara dan Candra saling berdampingan menikam dinginnya biru lautan.
Sedangkan, cahaya bulan sedang molek merias diri dengan bercermin pada tubuh lautan.
Romantika sepasang manusia juga sepasang makna yang seakan rentang
dan bentang waktunya ingin ditentang hidupnya.
Tidak ada yang lebih candu dari sepasang rasa yang saling melumat rindu.

***

"Saga, aku sudah dapat tanda tangan surat jalan dari Pak Lurah." Candra menyodorkan map kuning berisikan surat izin penjelajahan Kepulauan Seribu.

"Tunggu saya pinjamkan pelampung untuk Dirga dan Reka ke Paman Tua." Timpal Sagara setelah mengintip bilik tangki mesin diesel perahunya.

"Halaaah...udah telat berapa menit nih? Lagian cuma bentar doang ngambil sampel." Jawab Dirga remeh.

"Yeelaah...elu mah enak perut buncit bisa ngambang." Reka menyikut perut Dirga yang cukup berlemak.

Sagara menatap langit, ia memicingkan matanya untuk memperjelas warna awan di sekitar Kepulauan Seribu.

"Saya punya mandat menjaga kalian bertiga, awan di sekitar Pulau Pramuka terlihat gelap. Mau tetap dilanjutkan?" Tanya sagara sembari mengernyitkan dahi.

"Kalau Saga masih menawarkan untuk melanjutkan atau tidak, berarti kita akan baik-baik saja kan?" Candra menutup tangki mesin diesel perahu sambil tersenyum.

Saga berlari kecil menuju pos dermaga untuk mengambil pelampung, sementara Reka mengecek perbekalan di tas carriernya.

"Bagi tahunya dong ka." Dirga merogoh tas Reka.

"Heh!Gua patahin kaki lo!" Reka dengan sigap meremas pergelangan tangan Dirga yang mencoba meraih tas kresek berisi tahu goreng.

"Hadah hadah! Ampun ampun." Dirga mencoba melepaskan cengkeraman Reka.

Candra tertawa renyah.
"Dirga kan udah makan tadi."

"Yakan piring di posko kecil Ndra, mana kenyang." Dirga merengek sembari meringis menahan sakit pergelangan tangannya.

"Lagian elu udah abis nasi bejibun masih aja laper! Lambung lu emang ada empat apa?" Celetuk Reka sambil mencubit perut Dirga.

"Sakit Reka! Emang preman lu ya!" Dirga menangkis tangan Reka dari perutnya.

"Oh...mulai berani ya? Candra, keknya Reka ngga perlu bawa samsak latihan dari rumah deh." Reka memasang kuda-kuda dan melipat lengan kemejanya.

"Candra! Preman nih!" Dirga berlari ke belakang Candra mencari suaka.

Tawa Candra semakin renyah melihat tingkah dua sahabatnya. Sementara Sagara tiba membawa 1 pelampung.

"Kok cuma 1 pelampung?" Tanya Candra.

"Sisanya dipakai Paman Aji mengecek keramba, tapi yang 1 lagi pakai punya saya saja." Sagara melepas knop pelampung yang ia kenakan.

"Tapi Sagara..." Belum selesai bicara, Reka memotong.

"Candra tenang aja ya, Dirga bisa ngambang sendiri kok." Sahut Reka sambil menepuk keras perut Dirga dengan senyum jahilnya.

"Ka! Sakit bego!" Dirga reflek mengusap-usap perutnya.

"Eh sorry Dir, gua kira tas lu pake di depan, hahahhahaaa." Ucap Reka dengan tawa lepas.

***
Berjeda sementara.

Pasang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang