Bocah Pengepul Bara.

427 31 0
                                    

Rimbun ringin di kaki bukit itu meneduhi seorang bocah laki-laki yang sedang mengenyam sebuah jambu biji merah yang ukurannya pun lebih dari dua kali genggamannya. Sayup angin mengantarkan semilir debu ke bola matanya, perih saat tangan kirinya mengusap-usap netranya yang kelilipan. Ia mendongakkan tatap ke atas, lalu tertunduk sayu lantas kembali mengusap matanya berkali-kali.

"Pulanglah nak, sudah hampir maghrib." Sahut seorang bapak-bapak mengayuh sepeda anginnya yang bermuatan penuh rumput-rumput liar untuk pakan ternak.

Sore pun patah, perlahan tanggal biru langit-langit berganti jingga yang mulai berterus terang. Pasca maghrib itu lantas tak juga gemingkan si bocah untuk lekas pulang, ia memunguti ranting-ranting kecil dan dedaunan kering di sekitar kaki-kaki bukit tak jauh dari ringin besar setinggi kurang lebih 6 meter menjulang.

Ia menumpuk beberapa kayu yang sudah terpotong-potong dan ranting-ranting besar di selipkannya pada celah antara tumpukan daun-daun kering di bawah, sedangkan empat batu besar sebagai penyangga kekayuan yang membentuk tungku. Laun tungku kayu itu tumbuh dengan tinggi hampir sebahu anak itu.

Jingga belum kunjung di petik dari langit-langit sore semesta, ia pun mengeluarkan pemantik api dari saku celana pendek merahnya.
Teraih, ia mengeluarkan korek dari kantong celananya yang kedodoran, ia menaikkan celana sekolah lusuhnya yang melorot, lalu mengencangkan gespernya yang berkepalakan logo Sekolah Dasar tempatnya memetik ilmu.

Di petik api dari korek bensolnya, ia mulai menyalakan tungku dengan membakar dedaunan kering bercampurkan beberapa plastik kresek. Ia sigap membuat jarak beberapa hasta antara serakan daun-daun kering dari tungkunya yang menyala, sembari meniup tungkunya agar si api cepat membesar. Setelah di rasa cukup, ia menutupi celah-celah tungku bawahnya dengan bebatuan yang ada di sekitar lalu kembali duduk menunggu kayu-kayunya matang menjadi arang.

Surya perlahan membenam, gradasi jingga mulai kelam. Bocah itu bergegas meniup tungkunya agar api tetap terjaga nyalanya. Sesekali ia mengusap-usap matanya yang bukan karena kelilipan sore tadi, melainkan perih karena asap yang menelusup peparunya. Apinya membara namun kekayuannya belum cukup matang merata sehingga ia harus terus meniup bara api di hadapannya.

Gulita menggantikan jingga, tatap si bocah mulai layu lantaran mendengar kumandang adzan maghrib di surau seberang pematang sawah dekat bukit tempatnya menanak kayu. Ia masih terduduk sembari menunggu bara api tungkunya mereda, terlihat cemong-cemong wajah oleh kedua tangan mungil dengan telapak dekil.

Hingga berangsur adzan isya' dari kumandang Toa dari surau yang sama, ia pun mulai membongkar tumpukan kekayuan yang sudah selesai di masaknya. Tekun dan teliti memecah, membelah, memilah dan memilih kekayuan yang masih mentah dengan yang sudah matang menjadi arang. Di kumpulkannya arang-arang di dalam karung bulog 5 kiloan, mengumpulkan kembali kayu-kayu yang belum masak dan di kebas-kebasnya sisa-sisa bara yang masih menyala.

Matanya berbinar, tangannya legam, lusuh celana sekolah dan kaosnya yang bersablon Ultraman. Ia berjalan menyelami deretan pertokoan sebuah pasar tepat di tengah pelataran kota, lalu langkahnya terhenti di emperan rumah makan seafood untuk menukar sekarung arang di panggulnya. Lepas sudah beban berpunuk-punuknya, terasa ringan pundak mungilnya yang terbayarkan dengan empat lembar uang kertas bergambar pahlawan Tuanku Imam Bonjol.

Ia pun pulang dengan senyum yang lebih riang dan murni di bandingkan ketika ia lahap memakan jambu biji kala itu.

Menyusur jalan perkampungan, bersenandung "bertarunglah dragonball, dengan segala kemampuan yang ada..." dengan sendal jepit mungil yang tak sama panjang japitnya ia berjalan menggagahi gang sepanjang rumahnya dengan membawa kantong kresek besar berisikan 2 buah layangan dan senar gelasan.

-Setitik Nadir-

Menjadi anak kecil adalah waktu paling menyenangkan dalam rangkaian kehidupan, kita tekun bermimpi dan mempunyai keteguhan idealis untuk mewujudkan setiap keinginan. Bocah pengepul bara merepresentasikan sebuah tekad untuk raihan keinginannya yang semata-mata sebagai kesenangan. Bermain layang-layang?membeli senar dan layangan dengan usaha sendiri?memang tak semua anak beruntung mempunyai kehidupan mapan dengan segala keinginan gampang terkabulkan. Anak pembuat arang ini mengajarkan tentang harga sebuah usaha, usaha di bayarkan atas sebuah prestasi.
Membuat arang dari siang hingga malam dan membahayakan diri bermain api hanya untuk mendapatkan 2 buah layangan dan 1 gulung benang layangan.
Mungkin memang terdengar sepele dan konyol, tapi ia hanya seorang bocah kecil pengepul bara yang mengusahakan keinginannya sendiri.

Hai bocah, jangan lekas dewasa.

Pasang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang