Sebulan setelah aku kembali ke perantauan, mengabdi pada bangsa dan negara, sibuk dengan berbagai kegiatan militer dan pelatihan gumil, hari ini aku dikejutkan dengan kabar menyedihkan. Siang tadi ada sms dari Pak Wid, mengabarkan mas Hendry telah berpulang ke Rahmatullah. Innaillahi wa innaillahi rojiun. Hari jumat siang ini, menjadi hari terberat keluarga pak Widodo. Setelah 5 tahun lalu, Mbak Anggi meninggal saat melahirkan cucu pertama keluarga Widodo, hari ini Allah memanggil Mas Hendry untuk kembali.
Aku tidak tau pasti apa penyebab meninggalnya Mas Hendry, hanya kabar tentang meninggalnya beliau saja yang sampai. Dan hari ini juga aku memilih untuk terbang ke jawa, menghadiri pemakaman saudara angkatku , karena keluarganya pak Wid begitu banyak membantuku hingga seperti ini.
Sabtu dini hari aku baru sampai rumah duka, dan almarhum belum di kebumikan. Karena menunggu adik mas Hendry (anak bungsu pak Wid yang sedang melanjutkan S2 di Jepang) pulang. Dan perkiraan sabtu pagi baru sampai di indonesia. Rumah duka begitu penuh tangis haru, aku melihat Bu Astri begitu terpukul, beliau berkali-kali tak sadarkan diri. Mas Hendry meninggal karena sakit, lelah seminggu latihan tanpa istirahat, mas Hendry terserang sakit Jantung, dan itu merupakan turunan dari Bu Astri. Kejadian begitu cepat, bahkan almarhum meninggal sejam setelah di bawa ke rumah sakit, dan 30 menit setelah berpamitan pada Pak Wid dan Bu Astri.
"Ar, bapak ada titipan dari masmu."
Pak Wid menyerahkan kotak warna biru yang indah, di atasnya terdapat 3 bunga mawar putih plastik. Dan tak sadarkan, hari ini tanggal 3.
"Maaf pak, ini apa?"
"Sebelum pergi, almarhum masmu nitip ini sama bapak, pesan almarhum, kamu harus menyerahkannya ke Aretha, calon istri masmu. Dan ini ada surat dari masmu untuk kamu. Maafkan almarhum ya Ar."
Ada kesedihan, ada luka di mata Pak Wid, seseorang yang kuat seperti beliau bisa rapuh juga karena kehilangan salah satu anaknya untuk kedua kalinya.
"Siap pak"Aku hanya menyimpan kotak dan surat itu di tasku. Aku lebih memilih menemani keluarga almarhum dan membaca yasin di rumah duka. Aku bukan keluarga almarhum, namun mas Hendry sudah seperti abang kandung untukku, betapa beliau sangat baik, membimbing, dan menyayangiku seperti adik sendiri. Sosok abang yang tegas, mengayomi, namun sabar dalam membimbing. Beliaulah inspirasiku selama ini, loyalitas pada pekerjaan, bangsa dan keluarga, hingga kepentingan pribadinya di nomor sekiankan.
Tepat pukul 13.00 WIB, jenazah almarhum di kebumikan di TMP Kalibata. Prosesi pemakaman militer dilakukan secara khidmat. Beliau patriot, seorang tentara terbaik yang dimiliki bangsa ini. Banyak yang menyayangi beliau, banyak yang terpukul dengan kepergian beliau. Dan disana, wanita berhijab yang dipeluk seorang bapak seumuran Pak Wid, namun lebib gemuk, dan di sampingnya pun ada sosok ibu yang juga memeluknya. Wanita yang tak henti menangis, dan saat tanah basah mulai menutupi peti jenazah hingga tak terlihat lagi. Tampak wanita tersebut berlutut, meraung, memeluk nisan erat sekali. Apa mungkin itu Aretha, calon istri bang Hendry...???
Berkali-kali bapak tadi mencoba menariknya, mencoba menjauhkan dari tanah basah itu, tampak Bu Astri tak kuasa memeluknya sambil menangis dan seketika mereka pingsan bersamaan. 15 menit kemudian, gadis itu sadar dan menangis lagi, tampak raut muka yang terluka, rapuh, dan tak lagi ada sinar. Hari menjelang sore, semua pengantar jenazah sudah kembali ke rumah duka, hanya keluarga inti yang masih disini. Pelan aku mendekati gadis itu, melihatnya dari jauh akupun merasakan sakit yang begitu mendalam di matanya. Ingin aku memeluknya, membantunya bangkit dari keterpurukan ini, tapi siapalah aku.
"Mbak, saya turut berduka cita, almarhum menitipkan ini pada saya untuk disampaikan pada mbak."
Bahkan dia tak menoleh sekalipun, matanya kosong menatap nisan yang terukir indah nama almarhum.
"Saya taruh sini ya mbak, mbak yang tabah. Allah lebih sayang pada Almarhum."
Lagi-lagi dia mengacuhkanku, hanya tatapan kosong penuh luka."Ar, bapak pulang dulu, kamu ikut kami atau bagaimana?" Kali ini Pak Wid menegurku yang termenung.
"Saya pulang nanti pak, saya ingin melakukan penghormatan terakhir pada beliau."
"Hati-hati pulangnya, bapak tunggu di rumah ya."
"Siap pak."Dan aku melihat hanya gadis itu yang disana, bapak dan ibunya bahkan menunggunya di mobil. Memberi ruang dan waktu untuk dua insan yang hampir halal itu untuk bernostalgia. Meluapkan sedih, rindu, haru dan kehilangan. Tampak berkali-kali gadis itu mencium nisan almarhum, meraung, memukul dirinya sendiri. Aku merasakan sakit yang sama, melihatnya seperti itu membuatku terluka juga. Masih ada wanita setulus itu?? Serapuh itu??? Wanita istimewa di hati almarhum. Tidak salah almarhum memilih calon istri, begitu beruntungnya almarhum di cintai wanita seperti dia. (Astagfirullah hal adzim)
Aku memilih menjauh, mencari tempat berteduh, dan menunggu hingga gadis itu menjauh dan aku ingin memberi penghormatan terakhir pada beliau. Aku terus mengamati gadis itu, memperhatikan dari jauh, tersenyum sendiri. Dan entah rasa apa ini, apa mungkin aku jatuh cinta pada gadis rapuh itu, ah,,, mungkin hanya rasa kasihan dan kagum saja.
Gadis itu, calon istri almarhum saudara angkatku. Aretha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Bukan Milik Suamiku
RomansaAretha, menjelma sebagai seorang wanita mandiri, wanita yang semakin matang di usia 28 tahun. Seorang wanita yang telah menikah dengan lelaki yang mungkin tak pernah dimimpikannya untuk menghabiskan sisa umurnya bersama. Aretha yang selalu terjebak...