Aku bolak-balik membuka ponsel. Tidak ada notifikasi apapun. Sepi rasanya. Kalau diingat-ingat, biasanya Kesvin mengirim spamchat pakai emotikon lucu-lucu, atau bahkan mengirim pesan suara nyanyinya dia. Iya, tapi dulu.
"Adin! Ayo ke lab! Nanti kamu telat, dihukum loh!" teriak Elvi yang dapat aku kenali langsung suaranya.
Rupanya aku banyak bengong. Dimas bahkan tidak mengajakku atau membangunkanku dari bengonganku. Ia justru berangkat sendirian dan meninggalkanku begitu saja. Jujur ya, kalau dilihat begini Dimas menyebalkan. Tidak sesuai dengan imajinasiku seperti pria romantis atau apapun sebagainya.
Aku melangkahkan kaki memasuki laboratorium. Duduk di samping Dimas yang sengaja ia kosongkan untukku. Pria itu makin hari makin terlihat angkuh denganku, jadi sebal melihatnya.
Tak lama Guru Biologi datang dan menyuruh kami sekelas untuk melakukan praktek sesuai perintah di buku. Setelah melakukan serangkaian percobaan, guru yang disebut dengan nama Bu Gendeng dengan nama asli Bu Dengista itu masih muda dan berkacamata bulat. Ia menjelaskan panjang lebar kesimpulan percobaan dan menulisnya di papan tulis. Sementara Dimas tidak mencatat sama sekali. Ia justru mencoret-coret bukunya dengan hangul Korea. Aku tidak bisa membacanya dengan lancar, karena aku cukup buta huruf hangul.
Kemudian perwakilan siswa disuruh maju ke depan kelas untuk presentasi. Catatan Bu Gendeng juga sudah dihapus dari papan tulis. Yang aku ingat, wanita di depan itu adalah si angkuh yang menyebutku berkebutuhan khusus pada hari pertama aku masuk. Tiyas, Tiyas itu sepertinya.
"Heh, Adin.." bisik Dimas memanggilku. Masa bodoh dengannya, ia juga meninggalkanku tadi.
"Adinda," bisiknya kedua kali.
"Din—"
"DIMAS! Dengarkan yang di depan!" teriak Bu Gendeng memukul meja dengan penghapus papan tulis.
Beberapa menit kemudian, "Adin, aku pinjem catatannya dong. Aku malas nulis tadi. Boleh, ya?" bisiknya lagi dengan wajah penuh kasih.
"Adinda, pinjem catatan dong," kedua kalinya.
"Adinda...."
"DIMAS! Ada masalah apa? Kamu ganggu sekali! Keluar saja sana!" teriak Bu Gendeng kedua kalinya pada Dimas.
"Iya, Bu. Daritadi ganggu saya terus, Bu! Dia gak catat pelajaran Ibu!" seruku membuat wajah Dimas panik.
"Ka-kamu kok—" belum selesai bicara, aku dapat melihat Bu Gendeng sudah menjewer telinga Dimas untuk segera keluar dari ruangan.
Aku menarik senyum di bibir bagian bawah. Ku patahkan leher ke kanan dan ke kiri. Misiku kali ini berhasil untuk balas dendam pada Dimas.
Dari perbatasan jendela dan pintu, aku dapat melihat Dimas yang menggunakan papan bertuliskan 'Saya janji akan serius di kelas' seperti orang gila. Aku menahan tawaku sesekali sambil jemari terus menuliskan materi yang di sampaikan Guru. Dapat aku rasakan tatapan sinis Tiyas di sampingku. Aku tersenyum ragu. Wajahnya menandakan dendam padaku. Padahal aku sendiri tidak mengerti apa salahnya.
Setelah membagi kelompok untuk pengamatan lingkungan, seluruh siswa segera bergegas menuju bagiannya masing-masing. Tentu saja aku mengambil kelompok bersama Dita dan lainnya. Mungkin kalau ada Dimas, aku harus bersamanya. Dih, ogah!
Aku berjalan melewatinya. "Heh, nenek lampir!" panggilnya menyerukan aku. Refleks saja, ku balikkan badan dengan wajah kesal. Kalau bukan depan umum, ingin aku jambak saja mukanya, membuangnya ke tempat sampah, atau menyatenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Virtual
Novela JuvenilVirtual. Banyak diantaranya menyebutnya bagian dari Role Player. Banyak dari mereka yang terjebak dalam dunia kata, saling mencinta tapi tak kenal rupa. Lalu bagaimana ceritanya kalau 'dia' yang kau cintai dalam dunia virtual, dapat secara nyata ber...