Diam-Diam di Kejauhan

589 67 93
                                    

Aku menatapnya. Dari kejauhan, wajahnya terlihat kecil. Badannya yang tinggi terlihat tak begitu jauh dari tinggiku. Poninya yang berantakan karena seharian dia sibuk ke sana ke mari tak membuatnya terlihat kotor, justru semakin menarik untuk tetap diperhatikan.

Diam-diam, aku mulai membayangkan. Seberapa tinggiku jika aku berdiri di sebelahnya? Sebahunya, kah? Lebih rendah? Atau lebih tinggi?

Seberapa besar wajahnya sebenarnya? Apakah kedua tanganku cukup untuk menangkup dagu dan pipinya? Ataukah, tanganku terlalu kecil untuk itu? Atau sebenarnya, wajahnya memang sekecil yang kulihat sekarang meski dari kejauhan?

Aku menahan senyum yang dengan lancang berusaha terkembang. Pipiku terasa menghangat meski aku yakin tak akan tampak semburat kemerahan di sana. Apalah, kulitku terbilang eksotis, tak mudah terlihat semburat merah di pipi layaknya kawan perempuanku lainnya.

Aku membetulkan letak kacamata yang melorot, pandanganku kembali terfokus pada laki-laki itu. Dia tengah berbicara dengan rekannya. Tawanya terlihat meski tak kentara. Lagi-lagi, bibirku berusaha tertarik ke dua arah yang berbeda.

Ah, urusan ini, masih sama rumitnya seperti saat aku pertama kali merasakannya.

Ooo-ooO

Aku membenarkan letak tali tas di bahu kiriku. Berat sekali. Aku tidak ingat pernah memasukkan batu ke dalam tas. Mana siang ini terik, pula. Kuharap aku bisa berteleport langsung sampai ke kamar, saja.

Aku mengangkat wajah, lalu jantungku berdegup kencang secara tiba-tiba. Aku lupa kalau aku melewati kawasan kelas dua belas. Kupikir tidak akan ada orang karena ini sudah jam pulang. Aku memang kembali terlambat karena latihan upacara untuk beberapa hari ke depan. Dan aku lupa satu hal lagi, laki-laki itu, dia juga ikut latihan upacara dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah.

"Permisi, Kak," ucapku sembari tersenyum. Dan sedikit mengangguk. Tradisi sopan santun yang kental di sini, membangun moralku sejak kelas sepuluh.

Laki-laki itu, dia mengangkat wajah dari ponselnya. Kemudian menatapku, dan membalas anggukan sembari berkata, "Ya.".

Singkat saja, aku juga langsung berlalu. Tetapi itu cukup telak untuk membuat isi dadaku membuncah parah. Bayangkan saja. Memakai kaos biru dongker khasnya dengan celana seragam warna abu-abu. Jaket yang digantung di salah satu lengan, dan tali tas yang diselempang di salah satu bahu. Kacamata berbingkai yang membuat wajahnya ramai, dan wajah tanpa ekspresi namun menampakkan kesan ramah.

Aku ingin berteriak sekarang juga.

Oh, dan, jangan lupakan,

Bibir merahnya.

Ya Tuhan, bagaimana dia bisa memiliki bibir semerah dan semenggoda itu. Kenapa juga aku harus berpapasan dan menyapanya? Kenapa pula dia menjawab sapaanku, dan bukannya tak acuh seperti kakak-kakak kelas lainnya? Andai dia tidak bilang 'ya', bibirnya tak akan terbuka dan ...

Argh, siapapun! Katakan aku mesum dan tampar kesadaranku yang mengawang-awang!

Ooo-ooO

"Apa? Yang bener? Siapa?" tanyaku antusias.

Gadis ini, yang duduk di depanku, adalah teman sebangkuku. Kami sedang di pinggiran lapangan sekarang. Membahas seseorang yang disukai temanku ini dengan diam-diam.

Sesuatu yang menarik, dia seorang gadis yang feminin dengan sisi maskulin. Tipe gadis yang menyukai anak laki-laki dengan kepribadian yang sulit dicari.

"Ya, ada, deh," ucap gadis di hadapanku dengan tenangnya. Dan misterius.

"Kalau sama-sama waktu MOS, berarti dia MPK? Tunggu, siapa MPK yang kalem gitu? Ng, OSIS, ya?" tebakku beruntun. Menarik sekali jika sampai temanku ini menyukai seorang anak laki-laki.

"Ya ... ah, udah, ah."

Dia tersipu meski tak terlalu kentara. Berarti tebakanku benar. Lanjut, lanjut.

Tetapi, tunggu dulu.

Kakak kelas? OSIS? Laki-laki yang kalem, tidak banyak tingkah, pendiam, tetapi tetap aktif dalam kegiatan?

Sepertinya, aku tahu.

Kurasa, aku tahu.

Sudut hatiku terasa tercubit saat memikirkannya. Tetapi, tidak. Ini belum pasti. Aku harus memastikannya.

"Kakak kelas, OSIS. Anak MIPA?" Aku melihatnya tak bereaksi. "Anak IPS?" Dan dia terlihat menahan gumam.

"Uwee, anak IPS, ya? Anak IPS, OSIS, yang kalem. Dua belas IPS satu? Siapa ya, dua belas IPS satu? Kalo dua belas IPS dua aku nggak begitu kenal. Kalo gitu, dua belas IPS tiga. Iya, kan? Kan kan kan?"

Teman di depanku ini bergerak-gerak gelisah dengan senyuman tertahan.

Lagi-lagi, ciri-ciri yang sama persis dengan kakak berbibir merah itu. Okay, berhenti memikirkan hal menjijikkan.

"Iya, kan? Aku tahu siapa, sekarang," ujarku kemudian tertawa, diikuti dengan tawanya.

"Udah, sst. Simpen aja tebakanmu. Ntar kalau 'jadi' baru diungkapin."

Deg.

"Ah, bentar-bentar. Mau pastiin dulu. Iya kan, dua belas IPS tiga? Pake kacamata, kan? Dulu ikut kirab waktu upacara HUT sekolah, kan?"

Temanku tertawa, tidak mengangguk meski juga tak menggeleng.

"Udah udaah, sst. Jangan sebut nama. Besok kapan-kapan aja, kamu simpen dulu tebakannya. Jangan lupa, ya."

Deg. Deg.

"Siaap. Tak tunggu, ya."

Dan aku tertawa bersamanya.

Ooo-ooO

Aku menatap laki-laki yang kini menendang bola dengan lincahnya. Kaus biru dongker khas dengan celana seragam olahraga. Dia selalu begitu, memakai kaos yang berwarna sama, dengan bawahan seragam SMA. Meski tengah olahraga, tak terlihat dia terganggu akan kacamatanya. Poninya tertiup angin, bergerak lembut di bawah timpaan cahaya matahari.

"Hoi."

Aku menoleh, membalas panggilan temanku, lalu tersenyum. Sepertinya, temanku tidak menyadari kakak laki-laki yang disukainya tengah bermain futsal di lapangan yang hanya terpisah dinding dari tempat dia berdiri saat ini.

"Ayo, ntar kantinnya keburu rame."

Aku mengangguk. Sekali lagi, aku menatap sosok berkacamata itu. Tersenyum tipis, kemudian menghampiri kawanku.

Lagi-lagi, aku gagal menyukai seseorang karena teman sebangkuku juga menyukainya. Entah sejak kapan siklus ini bekerja. Kurasa semenjak sekolah dasar, bahkan meski teman sebangkuku selalu berbeda tiap tahunnya.

Ah, sudahlah. Toh, aku juga masih sekolah. Tak perlulah berlagak esok sudah akan menikah, posesif tak membiarkan laki-laki pujaannya mendapat hati dari gadis lainnya.

Yah, sampai jumpa 'hai kakak berkacamata.[]

Diam-Diam di KejauhanWhere stories live. Discover now