Diam-Diam di Kejauhan (2)

299 44 57
                                    

Aku mundur cepat secara spontan, meski jujurnya otakku membeku untuk sedetik. Mataku melirik ke atas, memindai wajah yang nyaris menabrakku barusan.

“Sori,” ucap laki-laki itu sambil sedikit menyeringai sesal, kemudian segera mengambil jalan di kananku dan bergegas berlalu.

Sedetik

Dua detik

Aku mengembuskan napas yang tertahan. Kupegang dada kiri, berusaha menetralkan detak jantung yang tak karuan.

Apa itu barusan?

Aku nyaris menabrak kakak kelas?

Dan kakak kelas itu justru yang meminta maaf padaku?

Kutelan ludah dengan susah payah, kemudian memutar kepala 120 derajat, menatap punggung kakak kelas barusan yang kini tampak semakin kecil, tertelan kejauhan lorong kelas delapan.

Dan mendadak, aku  seperti bisa merasakan pipiku berubah cepat menjadi sehangat kepiting rebus, lengkap dengan warna merahnya.

Ooo-ooO

Aku bersenandung kecil, memainkan kaki yang menggantung—mungkin sejauh satu centi—dari lantai. Maaf saja ya, aku memang pendek. Bahkan duduk di kursi saja kakiku menggantung meski aku sudah SMP.

Tapi aku masih bersenandung.

Kubayangkan wajah kakak kelas itu yang hanya bisa kutangkap dengan sekilas beberapa hari lalu. Kejadiannya sangat cepat, tapi juga terasa sangat lambat. Aku seperti bisa melihat setiap bagian dari wajahnya, tapi di saat bersamaan, aku tidak bisa mengingat bahkan bagaimana hidungnya, atau mulutnya, atau tulang pipinya, atau rambutnya, atau yang lainnya.

Yang kuingat hanya, tatapan matanya.

Tatapan yang begitu ramah dan jenaka. Tatapan yang sama sekali tidak terlihat meremehkanku meski aku hanya adik kelas. Tatapan yang hangat. Tatapan yang tidak terlihat menyelami kedalaman mataku sendiri, tapi kurasa sudah mampu menembus hatiku, melelehkannya.

Oh tidak, aku bisa gila.

“Hoi, ngeri amat kamu senyum-senyum sendiri gitu.”

Aku menoleh menatap teman sebangkuku, baru menyadari bahwa bibir dan pipiku tertarik membentuk segaris senyuman lebar. Jemari yang sedari tadi menangkup pipiku, kumainkan dengan jenaka. Kugeleng-gelengkan kepala dengan bercanda.

“Imut tau! Kan kan kan?” godaku. Biarlah tampak sedikit gila, asal dia jangan sampai tahu kalau aku sedang jatuh cinta dan nyaris gila sungguhan karenanya.

Teman sebangkuku itu memperlihatkan wajah jijik yang kentara dia buat-buat. Tapi kemudia ekspresi wajahnya segera berubah dengan cepat.

“Sumpah ya, kamu tu emang nggemesiiiin banget!”

Sinyal peringatan di kepalaku langsung meraung kencang, tahu apa yang akan dilakukan temanku setelah mengatakan itu. Kurasakan jari-jarinya menyentuh pipiku, kemudian menarik kulitnya dengan penuh tenaga.

“Aaaaa!”

Ooo-ooO

Kumainkan raket di tangan, berjalan santai sambil sedikit melompat-lompat. Entah kenapa, hari ini moodku sedang cukup bagus. Mungkin karena matahari bersinar terang di luar sana, tapi cahayanya tidak terik dan tidak membakar kulitku untuk menjadi semakin gosong. Atau mungkin karena aku bisa melihat awan mendung di kejauhan sana, dan mulai bisa mengendus bau-bau akan turunnya hujan. Yah, atau mungkin tidak ada hubungannya sama sekali dengan cuaca, karena sebenarnya, akhir-akhir ini moodku agak terlalu bagus.

Diam-Diam di KejauhanWhere stories live. Discover now