Lebih Baik Diam-Diam di Kejauhan

169 38 3
                                    

Aku meletakkan tas selempangku dan memangkunya. Kulepas juga earphone yang menyumpal di lubang telinga, memasukkannya sekaligus dengan ponsel yang kubawa ke dalam tas. Suara pembawa acara terdengar dari pengeras suara, menyebutkan skor hasil pertandingan basket yang baru saja selesai. Tribun sontak ramai oleh tepuk tangan respek, membuatku tanpa sadar melakukan hal yang sama.

Aku berangkat sendiri kali ini. Biasanya aku bersama temanku, atau adikku, atau anak-anak lain yang melakukan suporteran. Tapi aku sedang malas teriak-teriak, dan lagi, aku tidak bisa menikmati pertandingan kalau ikutan suporteran, jadi aku memutuskan duduk di tribun yang jauh dari anak-anak satu sekolahku yang seragaman memakai kaos putih sore ini.

Aku? Memutuskan untuk memakai kaos hitam begitu tahu dress code mereka.

Adikku malas berangkat, dan harga diriku terlalu tinggi untuk merayunya agar ikut. Temanku baru saja memberi kabar bahwa ban motornya bocor, dan karena dua hal itu, sebenarnya aku tidak punya alasan untuk tetap duduk di sini sekarang. Apalagi di kanan-kiri-depan-belakang, orang-orang lain terlihat duduk berdua atau berkelompok. Aku merasa nelangsa sendiri jadinya.

Kenapa sih aku mau datang?

Suara pembawa acara kembali terdengar, memanggil kubu yang akan bertanding selanjutnya, meneriakkan nama tim basket putra sekolahku, dan teriakan-teriakan berikut suara drum terdengar berisik dari tribun suporter. Aku mengamati anggota tim basket yang berlarian memasuki lapangan sambil melambaikan tangan.

Ah, aku ingat kenapa aku bersikeras datang meski tanpa teman.

Aku tidak tahu kenapa aku refleks tersenyum ketika melihat punggung dengan kaos bernomor 19. Cepat-cepat kutarik kembali kedua ujung bibirku, berdehem-dehem tidak jelas meski aku sendiri sadar tidak ada yang memperhatikan meski aku mau tertawa-tawa sekalipun. Tapi ini aneh, kenapa juga aku tersenyum tanpa alasan?

Peluit ditiupkan, pertandingan dimulai.

Ini adalah comeback tim basket putra SMA-ku setelah bertahun-tahun tidak muncul di liga ini. Mungkin, sekitar 5 tahun? Dan yang aku tahu, lawan main mereka pada babak ini terkenal cukup tangguh. Tapi entah kenapa, aku merasa positif kalau tim basket sekolahku yang akan menang, karena aku ikut datang ke sini. Aku ini, dewi keberuntungan, tahu.

Yah, meski aku hanya selalu membawa kesialan pada diriku sendiri.

Udara mulai memanas. Entah karena permainan yang mulai serius, atau karena orang-orang mulai memenuhi tribun di sekitarku, atau karena para suporter mulai kelelahan berteriak, aku tidak bisa memutuskan. Aku melepas tinju pelan ke paha, menahan diri untuk tidak mengumpat karena sekolahku kemasukan tiga poin. Gila, ya. Cowok dari tim lawan yang tidak aku tahu siapa namanya itu, sempat-sempatnya membuat tiga poin di posisi fatal.

Kutarik pandanganku ke tepi lapangan, mencari sosok dengan jersey bernomor 19. Sayang tidak terlihat, dan postur mereka—para pemain basket itu—terlalu mirip untuk dapat kubedakan dengan jelas melaui mata minusku yang memiliki jarak pandang 10 meter . Sebenarnya, 15 meter. Entahlah.

Peluit ditiupkan, pergantian pemain. Seseorang berdiri dari bangku cadangan, melakukan high five dengan temannya yang keluar lapangan, kemudian menggantikannya bermain. Kali ini aku mengenali caranya berlari, dan punggungnya yang terbuka lebar tepat menghadap ke arahku, memamerkan angka 19 kebanggaannya.

Dan lagi-lagi, aku tersenyum.

Ooo-ooO

Aku menatap langit yang sudah gelap. Sekarang hampir pukul sembilan malam, dan ini benar-benar mengejutkan bahwa aku masih berada di luar rumah untuk urusan yang tidak penting, dalam keadaan sendirian, pula.

Diam-Diam di KejauhanWhere stories live. Discover now