P - Talak

18.8K 1.2K 42
                                    

Play mulmed ❤

***

Seharusnya, mencari Riki yang tubuhnya kayak pohon pinang itu lebih mudah di tengah keramaian kantin saat ini. Tapi, tetap saja. Mata gue kotok. Sedari tadi gue cuma berdiri di depan kantin dengan kepala celingukan. Beberapa kali bahu gue kena senggol orang, nggak berhenti-hentinya gue merutuk.

Sampai ponsel di tangan gue bergetar. Ada pesan masuk dari Riki.

Pohon PinangQ
Emang dasar kotok!
Aku di meja yg tepat dua meter di depan kamu-_

Refleks gue mendongak ke depan dan melihat Riki sedang duduk sendiri di salah satu meja yang memang tepat berada di depan gue. Tatapan dia datar, membuat gue cengengesan dan segera berjalan ke arahnya.

Sesampainya di sana, gue mengambil tempat duduk di depan Riki. Sebelumnya gue menyeruput es teh miliknya. Dia melotot, melihat kelakuan gue yang sembrono itu.

"Anggap aja aku nyium kamu barusan. Lewat sedotan," kekeh gue sambil menyengir lebar.

"Padahal gelas teh ini bukan punya aku," ucap Riki santai yang sontak membuat kedua mata gue melebar sempurna.

Gue menutupi bibir dengan telapak tangan. "SERIUS?!!"

Riki terkekeh di tempatnya, menatap gue dengan sorot geli. "Canda. Itu gelas aku kok."

"Lacnat kamu, Maaz!" sungut gue.

Cowok itu tersenyum. "Mau makan apa?" tanyanya.

"Apa aja, asal jangan hati, Beb!"

Lagi, Riki terkekeh dan kemudian meninggalkan gue sendirian di meja untuk memesan makanan. Nggak lama dia sudah kembali dengan membawa dua mangkuk. Kayaknya bau-bau surga dunia, nih.

"Aseeek, mie ayam!!" Gue bertepuk tangan heboh, Riki yang melihatnya mendengus geli.

"Sekarang kita makan dulu, bicaranya nanti aja."

Gue mengangguk antusias. Keputusan yang sangat benar, Ki. Memang lebih baik kita makan dulu. Soalnya untuk ngomong juga pakai tenaga.

Nyatanya, saat gue sibut makan, Riki malah nggak makan. Dia justru menatap gue sedalam sumur bor. "Kwok kamwuh nggawm makhwam?" tanya gue dengan bahasa alien.

Riki terpekur sejenak, menerjemahkan bahasa gue dalam otaknya. Selang beberapa detik, dia tertawa. "Telen dulu, nanti keselek!"

Uhuuk!

Gue malah beneran tersedak. Tenggorokan gue perih. Untungnya mie dalam mulut gue nggak nyembur ke Riki. Seperti halnya dalam novel dan film, Riki tentu panik sambil mengangsurkan gelas es teh miliknya—karena dia belum pesen minum buat gue, jahat emang! Dikira pacarnya onta kali—sambil menepuk-nepuk pelan punggung belakang gue. Entah, itu faedahnya tepukan buat apa.

"Bandel, sih, makan sambil ngomong!" omelnya.

Setelah mie dalam mulut gue tertelan dan tenggorokan gue nggak perih, gue menatap Riki sebal. "Dari pada makan sambil boker, jorok!"

Dia menyeringai geli. "Ceremotan tuh!" tunjuknya ke arah mulut gue.

"Nggak niat buat ngelapin?" tanya gue. Ini cowok nggak ada roman picisannya sama sekali, deh. Heran gue.

"Ogah. Hidup ini bukan drama korea, Al. Selagi kamu bisa ngelap sendiri, kenapa harus aku yang ngelapin? Mandiri, dong!" ocehnya malah bertausiyah.

Gue menatapnya datar. "Cowok langka emang lo!" desis gue sambil membersihkan area sekitar mulut dengan jilbab putih yang gue pakai.

"Jorok!" hujatnya yang gue balas uluran lidah.

Mr. SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang