U - Pisang

17.5K 1.2K 39
                                    


Kaki jenjang ini berjalan tanpa arah. Raga ada seakan tak bernyawa. Perlahan kepala gue mendongak, langit gelap tanpa bintang semakin terasa menakutkan. Udara dingin ikut menyusup, menyadarkan gue kalau aksi minggat ini gue lakukan dengan kostum piyama tidur gambar teddy bear.

Nggak menawan banget cara gue kabur dari rumah. Nggak bawa koper, juga lupa pakai sandal. Auto ditangkep Satpol PP dikira gembel pinggir jalan.

Belum lagi saat gue mendengar suara asing yang terdengar begitu nyaring dari perut gue. Lapar. Harusnya gue comot dulu dua atau tiga potong tempe goreng sebelum minggat dari rumah. Semakin menyesal lah gue dengan per-minggat-an ini.

Setelah gue sadari, ternyata gue berjalan cukup jauh juga. Melewati dua samudera dan dua benua. Apaan sih lebay. Tapi yang jelas ini bukan lingkungan rumah gue lagi. Kayaknya kampung tetangga. Mampus aja gue, nggak ada yang gue kenal di sini.

Posisi gue sekarang ini lebih tepatnya di sebuah jalan yang dipadati pedagang kaki lima. Harum makanan bercampur aduk jadi satu. Bau asap tukang sate sampai bau micin yang berasal dari tukang nasi goreng hilir mudik melewati indra pernapasan. Isi perut gue makin bergejolak. Level laparnya meningkat.

Ini kalau gue pura-pura jadi pengemis nggak dosa kan, ya?

Gampang sih sebenernya. Gue tinggal berantakin rambut sama melas-melasin muka buat minta-minta. Tapi ya kali gue serendah itu. Kayaknya masih ada cara lain untuk menuntaskan lapar ini. Menawarkan jasa cuci piring mungkin?

"Shut! Cewek! Sendirian aja?"

Gue menoleh ke samping kanan, beberapa pria menatap ke arah gue dengan tatapan lapar. Mati aja gue. Gue sendiri, mereka banyakan. Kemungkinan resiko diapa-apainnya lebih tinggi.

Tapi ini tempat umum, gue merasa masih aman.

Seolah-olah tak mendengar, gue terus melangkah cepat. Beberapa kali kaki gue tertusuk kerikil-kerikil kecil yang membuat gue mengaduh, tapi itu nggak seberapa dengan pikiran negatif yang menghantui gue sekarang. Ditambah gue merasakan salah satu dari mereka mengikuti gue. Setelah gue menoleh ke belakang, ternyata bener. Gue dibuntuti.

"Buru-buru amat, santai aja sini sama Abang."

Ngedengernya gue pengen muntah. Nggak terasa keringat dingin mengaliri wajah gue. Rasanya gue ingin lari. Tapi takut dianggap aneh dengan orang sekitar. Dan keselnya lagi nggak ada seorang pun yang menyadari ketergangguan gue sekarang.

"Hei, neng manis. Takut, ya?"

Gue makin panik. Langkah gue semakin panjang-panjang dan tak beraturan.

"Nggak bakal abang apa-apain kok. Kita seneng-seneng aja."

Kata 'seneng-seneng aja' nya bikin gue suuzhan. Ya Allah, lindungi hamba-Mu ini. Hamba janji nggak akan minggat dari rumah lagi.

Setelah beberapa saat si abang-abang nggak bersuara. Gue memberanikan diri untuk menoleh. Sempat gue kira kalau gue udah aman, damai dan sentosa. Tapi ternyata gue masih diikuti. Si abang-abang tersenyum mesum ke gue. Dari wajahnya terbaca kalau dia berhasil mengarahkan gue ke tempat yang lebih sepi. Ya Allah, Alfy belum nikah!

Sepertinya sekarang bukan waktunya buat gue selow-selow lagi. Gue harus lari. Iya, lari.
Seakan tahu niat gue yang mau melarikan diri, tangan gue ditarik dari belakang. Badan gue berbalik dan terhuyung menabrak tubuh seseorang. Gue ingin teriak sekencang mungkin tapi gerakan mulut gue terhenti ketika-

"Sayang, aku cariin kemana-mana ternyata kamu di sini?"

Suara ini ... kayak gue kenal.

 kayak gue kenal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mr. SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang