Z - Dia Bukan Tuhan

23.5K 1.3K 384
                                    

Gue tidak bisa membiarkan ini terjadi.

Langkah kaki gue melangkah pasti dan cepat ke tempat dua manusia itu berada. Syifa di belakang gue yang ikut menyaksikan pemandangan pelukan sialan tadi mengejar sambil terus berusaha menghentikan gue.

"Al, berhenti! Jangan lakuin hal bodoh!" pekiknya yang sama sekali tidak gue indahkan.

"Gue tahu lo kesel, lo marah, lo kecewa, tapi ada baiknya lo jangan muncul sekarang di antara mereka. Al, dengerin gue!"

Hal bodoh dia bilang? Sekian banyaknya kata-kata manis yang gue dapat, perhatian-perhatian kecil yang membuat gue berharap, gue harus diam saja ketika diperlakukan kayak gini? Atau yang Syifa mau adalah gue pura-pura tidak melihat kejadian pelukan itu lalu melupakan semuanya begitu saja?

Tentu saja tidak.

Gue tidak mempedulikan lagi suara Syifa yang memanggil. Dia tertinggal langkah gue di belakang. Bagus, itu artinya rencana gue untuk menghampiri dua manusia di sana akan berjalan mulus. Ponsel yang sedari tadi berada di genggaman gue dekatkan ke telinga sambil tetap melangkah pasti.

Di tiga langkah terakhir gue mengeraskan suara, berpura-pura sedang menelepon seseorang. Kepala gue menunduk dan tepat dengan apa yang gue perhitungkan, setelah menghitung mundur dari angka tiga sampai satu, gue berhasil menabrak keduanya.

Brukk!!

"Maaf, ya ampun! Sa-saya benar-benar tidak sengaja!"

Mereka benar-benar terkejut dengan kehadiran gue. Perbincangan mereka bahkan terhenti karena serudukan gue tadi. Dalam hati gue berteriak puas.

Tepat ketika gue mengangkat kepala, gue langsung melihat sosok Pak Rafli sedang menatap gue terkejut. Dia tidak segan-segan membulatkan matanya. Ah, ingin rasanya gue tertawa keras sekarang. Namun, drama ini belum waktunya berakhir.

"Mbak sama Masnya nggak pa-pa?" tanya gue dengan raut bersalah sambil menatap keadaan mereka bergantian.

Gue nggak tahu pasti siapa wanita itu, yang pasti dia seperti seumuran dengan Pak Rafli. Gue tidak ingin menjadi jahat, tapi melihat wanita itu membenahi pakaiannya karena serudukan gue tadi mau tidak mau gue harus menahan diri untuk tidak tertawa. Apa serudukan gue terlalu kuproy? Jelas, tubuhnya itu mungil, kalau diukur mungkin hanya sebatas bahu gue.

"Nggak apa-apa kok, Dek," ucap si wanita itu menahan untuk tidak memperlihatkan wajah ringisannya. Tentu tidak akan baik-baik saja setelah tertabrak seseorang, kan? Mengingat kencangnya gue menabrak mereka tadi.

Gue masih memasang raut bersalah, atau lebih tepatnya berpura-pura merasa bersalah. Tangan gue memegang pundak wanita itu sebagai bukti kekhawatiran dan penyesalan. Lalu, gue mengalihkan pandangan pada laki-laki yang bersamanya sekarang. Refleks tangan gue mengepal di samping badan.

"Masnya?" tanya gue kemudian.

Pak Rafli langsung gelagapan dan mata sendunya bergerak gelisah. "Sa-saya nggak apa-apa." Dia mencoba tersenyum, namun gagal. Itu hanya terlihat seperti garis bibir yang terbentuk paksa.

"Kalau gitu saya permisi. Sekali lagi maafin saya ya, Mbak, Mas."

Saat gue ingin beranjak pergi, tanpa gue duga, Pak Rafli menahan pergelangan tangan gue. Ini nggak ada dalam rencana. Yang gue mau hanya ingin bersikap seolah-oleh gue tidak mengenal Pak Rafli dan membuat dia merasa bersalah. Jelas ini membuat gue sangat terkejut. Belum lagi wanita yang bersamanya itu, dia kelihatan heran melihat sikap Pak Rafli yang begitu tiba-tiba.

"Alfy, saya bisa jelaskan," lirih laki-laki itu sambil berusaha membawa tangan gue ke dalam genggamannya.

Gue terpaku beberapa saat ketika melihat mata sayu itu menyiratkan ribuan rasa bersalah. Namun gue segera menyadarkan diri dan melepaskan tautan tangannya. Kembali bertindak sebagai orang yang pura-pura tidak mengenal laki-laki itu.

Mr. SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang