3 - Bingung

25 2 0
                                    

Rinai hujan terciprat dijendela kaca bening, terperangkap dalam ruang ini ditemani segelas kopi hangat meskipun aku tidak menyukainya tapi sosok didepanku ini membuatku harus menyukainya untuk sekadar menghargai usahanya. Kenapa harus bertemu dia lagi disini?

Kedai ini sedang ramai, suara suara dari segala arah seperti dengung lebah. Sepertinya letaknya strategis karena banyak mahasiswa yang nongkrong terlihat dari beberapa yang sedang sibuk dengan bukunya tidak terganggu oleh teman yang justru sibuk berbincang.

"Apa yang kamu suka dengan hujan?"
Perhatianku berbalik kearah pemuda dihadapanku

"Aroma-nya" menjawabnya dengan tidak minat, sekadar menanggapinya

"Kalau senja?"

"Suasananya"

Kalau diperhatikan sedikit Adnan punya garis wajah yang apabila tersenyum orang yang berada didekatnya betah untuk memandang. Seperti saat ini tiba tiba ia tersenyum buru buru aku menghentikan kontak mataku untuk melihatnya.

Tapi Halil juga punya senyum yang membuatku betah untuk memandangnya, apa semua yang datang padaku diciptakan dengan senyum yang membuat tenang?

Setelah kejadian tadi malam, sulit rasanya menghilangkan dalam ingatan. Pagi tadi setelah meminta izin ke Nadira, awalnya ia menolak

"Daerah sini masing asing denganmu Ay, kalau kau tersesat bagaimana? Bertemu orang jahat dijalan atau---"

"Aku hanya akan ketempat itu Nad, yang pernah kita kunjungi. Aku janji setelah dari sana aku akan pulang"

"Baiklah, maaf tidak bisa menemanimu. Bunda tiba tiba ada urusan dan aku harus menemaninya"

Aku mengangguk, lagipula aku hanya ingin sendiri dan sepertinya tempat itu pas. Jadilah saat pagi tadi sebelum orang rumah sarapan, aku pamit pergi dan disinilah duduk mengamati aktivitas orang orang yang berlalu lalang, hari semakin beranjak siang dan tiba tiba hujan itu datang mengguyur. Jalan yang tadinya ramai mendadak lengang. Mencari tempat teduh melindungi diri dari bulir hujan.

"Hey kau melamun."
Terperanjat, menoleh sekilas kearahnya lantas kejendela kaca.

Biasanya saat hujan aku akan dengan senang hati basah basahan, tidak perlu takut Mama mengomel. Akan ada Halil yang selalu menutupinya sejak dulu ia selalu menjadi tameng.

"Sepertinya hujan terlalu menarik sehingga berpaling pun susah untukmu," jeda lima detik "aku heran kenapa perempuan selalu menyukai hujan? Padahal kan itu tidak baik, bisa menyebabkan dingin, tiba tiba demam sungguh merepotkan"

Adnan, tidak mengerti hujan bagiku adalah sesuatu yang bisa membawaku bersama kenangan itu.

Lonceng berbunyi setiap ada pengunjung yang masuk, hujan bertambah lebat saja. Buku diatas meja segera kuraih, menepuk pelan rok yang kukenakan sebelum melangkah ada sebuah tangan yang menahannya.

"Mau kemana? Diluar hujan bertambah lebat. Cuaca semakin dingin"

Tak kuhiraukan perkataannya, melepas tangan yang menggenggam dan berbalik. Adnan tidak tinggal diam rusuh dibelakang bergegas mengikuti. Adzan terdengar di masjid yang letaknya tidak jauh dari kedai ini. Menghela napas menatap bulir hujan.

Cuaca terasa dingin masuk melalui pori pori yang tak berpenghalang. Kudekap buku yang kubeli dipinggir jalan tadi. Diluar kedai sebenarnya ada kursi panjang terletak dibawah pohon. Tapi ini kan hujan, mungkin kalau keadaannya tidak seperti ini aku sudah duduk disana.

"Kan apa aku bilang, diluar dingin. Kenapa harus keluar. Liat badanmu menggigil karena dinginnya hujan."

"Kalau tidak suka silahkan kembali."
Suaraku berubah ketus, tidak ada yang mengajaknya keluar. Lantas dengan mudahnya menyalahkanku, enak saja memangnya siapa dia.

"Masuk Ay, diluar hujan semakin lebat"

Kakiku melangkah, panas mendengar cerocosan nya yang tidak membantu. Menembus hujan, jalanan lengang jadi dengan santai aku melangkah. Terus melangkah

"Brakk"

Berdenging, penglihatanku seketika buram. Mendadak kepalaku pusing.

"Ay" Desisan Adnan terdengar sebelum aku menutup mata.

***

Cahaya putih menerobos masuk, menutup lalu berusaha membuka

"Ay, kan apa aku bilang hati hati"
Nadira terlihat cemas, menggenggam jemariku. Sesaat ia melihatku tersadar

"Untung saja tadi ada Adnan, kalau tidak"

"Sudah Nad, Ayla butuh istirahat dia cuma syok. Sejak kecil dia memang tidak tahan dengan namanya darah. Dia akan pingsan. Apalagi tadi kecelakan itu terjadi di depan matanya"

"Ya sudah Ay sekarang kamu istirahat ya, jangan kebanyakan mikir yang tidak tidak

Kulirik jam yang menggantung dekat jendela.

"Kamu pingsan cukup lama, aku pikir kamu nggak mau bangun lagi sangking lamanya"

Malam menggeser posisi siang, langit mendung jadi tidak ada bintang. Nadira disamping ranjang rumah sakit sedang melaksakan shalat setelah beberapa saat warna jingga telah hilang di kaki langit. Dia sangat baik mau menemaniku padahal aku bukan siapa siapanya selain fakta bahwa aku adalah sahabat dari sepupunya. Lalu Sayup sayup terdengar suara lantunan ayat suci yang tentu saja berasal dari kamar ini. Masih terekam jelas dalam ingatan.

"Ay, kamu tetap jadi sahabatku ya sampai kapanpun" gadis kecil 9 tahun itu dengan kencang mengangguk

"Tapi kak Lil, juga ya"

"Iya"

"Janji" mengulurkan jari kelingkingnya

"Iya janji"

Dan ternyata benar, ia akan selalu menjadi sahabat tidak lebih dari itu.
Ia merasa ingin tertawa keras sekarang meratapi hidupnya. Bukan rasa cinta yang salah tapi dirinya lah yang salah. Sepasang sahabat tidak akan mungkin menjadi sepasang kekasih.

Derap langkah terdengar, tidak lama setelahnya pintu terbuka menampakkan wajah Adnan tersenyum lebar membawa sesuatu ditangannya. Aku menghela napas sejenak lantas berpaling kembali.

Sekitar pukul 8 malam, kami sampai dirumah dengan halaman yang sangat asri meski malam berusaha menutupinya. Letak rumah strategis, pohom masih terjaga kelestariannya. Turun dari taxi, Nadira terasa memegang erat tanganku. Berjalan memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum, Ibu..." seorang wanita paruh baya muncul setelah teriakan Nadira.

"Wa'alaikumsalam. Ya Allah, kenapa bisa begini?"

"Tidak apa apa tante, saya baik baik saja" pungkasku, melihat reaksi Ibu dari Nadira melihatku dipapah oleh putrinya. Apakah wajahku terlihat pucat

Menggiring kaki memasuki kamar Nadira yang terletak disisi kiri rumah ini. Aku duduk dipinggir tempat tidur, meminta tolong agar memberikan ponselku ingin mengecek sesuatu

Aku menoleh saat mendengar hembusan napas gusar Nadira,

"Sampai kapan sih Ay. Terus menghindar, bersikap tidak acuh dengan sekitar dan selalu memasang wajah seakan semuanya baik..." ucapnya menjeda beberapa detik "Kau seperti bukan Ayla yang diperkenalkan oleh sepupuku, kau berusaha merubah dirimu. Dulu memang kau pendiam tapi aku pikir sekarang sikapmu bukan lagi hanya seorang yang senang dengan itu tapi mungkin sudah menjadi sosok yang tidak acuh tau nggak" Nadira tidak tau lagi apa yang harus ia katakan kepada gadis yang berubah hanya karena sebuah cinta yang salah tempat.

Hening, senyap. Setelah Nadira berbicara panjang lebar. Ayla hanya menunduk memperhatikan layar ponselnya yang gelap. Memainkan tombol disisi kanan benda persegi. Layar putih lantas menghitam lagi.

Sebenarnya Ayla lelah dengan sikapnya seperti ini. Lelah berpura pura memakai topeng. Ia sangat ingin membukanya. Ia rindu dirinya yang dulu.

Karena sejujurnya ia bingung dengan kehidupan yang sedang ia jalani. Jatuh cinta pada sahabat sendiri, lalu sakit hati sendiri. Hanya ia yang merasa sakit hati. Semua membuat kepalanya pusing.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Being AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang