"Silakan roti selai dan teh nya, Tuan."
Ia yang semula tengah memperhatikan jendela sedikit terkejut, lantas menoleh dan tersenyum ramah pada sosok gadis muda yang mengantarkan pesanannya. "Ah iya, terima kasih."
Gadis yang memang bertugas untuk mengantarkan pesanan itu sempat terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya membungkuk dan undur diri dengan wajah memerah. "Kalau begitu saya permisi dan silakan dinikmati makanannya."
Pria berambut perak itu kembali tersenyum, namun hal itu tidaklah lama. Senyuman itu menghilang secepat ia kembali menolehkan kepalanya pada jendela kaca tepat di samping tempatnya duduk. Tak ada yang spesial memang, hanya pemandangan senja yang biasa dengan orang-orang yang berdesakan memenuhi trotoar, berharap untuk segera tiba di rumah.
Iris sewarna langit itu menatap kosong, pikirannya seolah melayang jauh. Bukan lagi pada pemandangan senja ataupun secangkir teh yang dibiarkannya mulai mendingin, akan tetapi pada seseorang. Seseorang yang sebenarnya sangat berarti bagi dirinya.
"Ahh ... kenapa aku masih memikirkannya?"
Ia mendengus pelan. Apa lagi yang harus ia pikirkan supaya berhenti memikirkan sosoknya? Pikirkan hal yang lain, bagaimana dengan pekerjaan? Ah, tapi semua sudah beres, buktinya ia bisa duduk tenang menikmati sore di cafe ini. Pikirkan soal hidup? Tapi apa lagi yang harus dipikirkan, ia masih bisa bernafas pun sudah cukup kan, dan sepertinya tidak ada masalah berarti yang membuatnya harus berpikir.
Pikirkan soal kekasih? Haah ... ia bahkan tidak punya kekasih.
"Sudahlah, mungkin aku harus nikmati saja apa yang ada. Siapa tahu bisa mengalihkan pikiranku dari diri-" Ucapannya terhenti saat handphone yang tergeletak di atas meja itu nampak bergetar.
Ia menoleh, menyapukan jari telunjuknya dia atas permukaan layar. Sebuah pesan masuk dan nama yang terpampang sebagai nama dari sang pengirim itu, membuat seorang Hiiragi Shinya harus kembali menghela napas.
"Bagaimana aku bisa melupakanmu jika kau masih saja menghubungiku." Ia tersenyum miris, membuka pesan dengan nama pengirim Ichinose Guren itu. "Ah mungkin aku tidak boleh terlalu percaya diri juga, bisa saja dia menghubungiku karena ada hal penting?"
From: Ichinose Guren
Dimana kau Shinya sialan? Kenapa tiba-tiba menghilang setelah jam pulang kerja?
Sebaris pesan itu membuat seluruh pikiran Shinya buyar, niatnya untuk tidak memikirkan pria Ichinose itu lagi menghilang sempurna ditelan angin. "Tidak berhasil." Ia bergumam pelan, mengasihani dirinya, merutuki kebodohannya.
"Aku tidak benar-benar bisa untuk melupakannya."
Ia mengalihkan pandangannya pada secangkir teh yang mulai mendingin dan menyeruputnya pelan. Iris kebiruan itu kembali menatap keluar jendela, dengan satu wajah yang menghiasi pikirannya, mungkin ia sedikit berharap kalau-kalau sosok pria itu akan muncul dari balik kerumunan dan menghampiri dirinya. Terlalu berharap, menurutnya.
"Kau tahu, sepertinya ini tidak akan berhasil, Guren. Kau tahu aku tidak pernah bisa untuk tidak memikirkanmu? Maaf, tapi aku tidak tahu lagi apa yang harus ku lakukan."
Shinya kembali bergumam seorang diri, sambil tetap menatap langit yang berubah gelap namun tidak menghapus keindahannya. Handphonenya kembali tergeletak dalam bisu dengan layar yang masih menampilkan sebuah pesan yang sepertinya tidak akan mendapatkan sebuah jawaban untuk seseorang di ujung sana.
.
.
Disclaimer:
KAMU SEDANG MEMBACA
You're not Alone
Fiksi Penggemar" ... Temani aku main game, setidaknya dengan begitu aku tidak sendirian di hari libur seperti ini. Aku tidak ingin sendirian." Meski bilang begitu nyatanya yang dibutuhkan Shinya hanya Guren seorang. Dengan kehadiran Guren disisinya ia sudah meras...