Sejadah Cinta

94 4 0
                                    

Oleh: Nia Daniati

Part 1

Masih terngiang-ngiang di benakku, yang disampaikan ayah malam itu membuatku berfikir keras, ini keputusan terberat dalam hidupku.
Aku terkejut, teman yang biasa ku panggil abang sewaktu kecil datang menemui ayah untuk meminangku. Aneh rasanya, sebab yang ku tahu, dia pria tampan, dewasa, berwawasan agama, dermawan, semua wanita mengidam-idamkan sosok sepertinya, tapi tidak denganku.
Bagiku, dia hanya seorang kakak. Hanya seorang kakak!
Umurku dan umurnya terpaut tujuh tahun. Waktu kecil dia lah teman ku bersepeda, pun sering membelanjakan berbagai cemilan favoritku.
Aku dilanda bimbang, bingung harus menerima ataukah menolak pria sesempurna dia. Dia terlalu istimewa untuk ku jadikan suami, karena bagiku, selain sebagai kakak dia juga menjadi guruku dalam beragama.
Sekali lagi, ini keputusan terberat. Setelah empat tahun kami tak pernah bersuah, akan aneh rasanya bila berpapasan dengannya di halaman rumahku nanti.

Sebenarnya, setahun sebelum kami berpisah aku sempat bertemu dengannya, ada getaran dalam hatiku, tak berani menatapnya. Mermula sejak saat itulah kami tak sedekat dulu.
Tatapannya aneh, bukan tatapan seorang kakak kepada adik.
Tatapan yang ia beri seperti tatapan seorang lelaki kepada wanitanya. Menakutkan.
Aku akui setelah lama tak bersuah dengannya, kadang aku rindu, rindu tausiahnya, kagum dengan kecerdasannya, tapi bukan berarti aku mengartikan rasa yang ada ini adalah cinta, bukan?

Jujur, masih banyak yang mesti ku pertimbangkan. Belum lagi, dia sudah ku anggap kakak sendiri. Aku benar-benar bimbang seperti seorang paranoit.
--
Masih lekat di ingatan ku, suatu hari ia datang ke rumah membawa sekresek cemilan, ngobrol asyik bersama kakak kandungku yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Mungkin hanya sekedar silaturrahim karena memang sejak kecil kami sudah seperti keluarga. Orang tuaku dan orangtuanya dekat. Jadi bukan hal aneh jika sewaktu-waktu ia berkunjung ke rumah.
Lagi pula, jarak rumah kami tidak terlalu jauh, tapi justru yang ku lakukan adalah mengurung diri di kamar, takut berjumpa atau sekedar menyapanya. Ada rasa yang tak biasa, aku selalu saja salah tingkah saat berpapasan dengannya. Aku berusaha menjaga jarak agar tidak bertingkah aneh.
.
Kedatanganku dari perantauan adalah hal yang dinanti-nanti. Setelah bertahun-tahun megemban study di luar kota. Aku semakin kagum dengannya, sopan santunya, tutur katanya, ekspresi dan kepandainnya tidak diragukan lagi, jadi wajar saja jika kuanggap dia sebagai kakak dan teman dekatku selama ini.

"Afwan dek, kau tak ikut kajian? Saya yang akan menyampaikan materi sore ini," tegurnya disuatu hari.
"Afwan kak, kerjaanku belum selesai, sore ini aku akan menemui ibu di rumah nenek," jawab ku dengan gugup. Aku hanya tertunduk dalam-dalam.
Ah, rasanya aku hampir tak sadarkan diri. Semua benar berubah. Aku rindu diriku yang dulu, yang tidak kaku dan penakut seperti itu.
~bersambung

Sejadah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang