Seluruh sudut gedung aula, bahkan gedung sekolah sudah Guanlin sambangi. Fokusnya hanya satu orang saat ini, seorang Park Jihoon. Ia tidak peduli apapun lagi sekarang, bahkan tangisan Jieqiong tentang seluruh kebohongannya sudah tidak ia pedulikan.
Yap ! Setelah memastikan bahwa dihari yang sama saat ia pingsan di kelas dan tentang Handphone Jihoon, orang pertama yang ia temui adalah, Jieqiong. Dari awal wanita itu memperingatkan Guanlin tentang "jelek"nya seorang Park Jihoon dan ternyata kebohonganlah yang keluar dari mulut licik itu. Jihoon adalah korban dari kelicikan dan rasa iri dari Jieqiong.
Satu fakta yang baru Guanlin tau adalah, ternyata setiap hari ada sebuah bekal makan siang tertata dengan rapi di laci mejanya dan Guanlin kecolongan tentang hal itu, karena Jieqiong telah lebih dulu membuangnya sebelum Guanlin menemukannya.
Bodoh dan brengsek, dua kata yang terus ia rapalkan tertuju untuk dirinya sendiri. Ia merasa sangat tidak tau diri sekarang.
Harusnya dari awal Guanlin mengikuti apa yang hatinya inginkan dan bukannya mempercayai orang lain. Harusnya ia mengikuti nalurinya , bukan malah egonya.
.
.
.
."A ! Woojin pasti tau !"
Berlari kembali ke aula sekolah untuk menemui satu orang yang Guanlin yakini adalah kunci dari titik terang keberadaan Jihoon.
"Woojin ! Ikut aku, aku ingin bicara denganmu"
"Bicarakan saja disini"
Woojin menjawabnya dengan sedikit sinis karena ia tau semuanya, ia tau tentang seluk beluk percintaan Jihoon.
"Aku mohon ! Ini penting"
"Disini, atau tidak sama sekali"
"Baiklah-baiklah. Apa kau tau dimana Jihoon sekarang ?"
"Tidak !"
"Aku mohon dengan sangat"
"Apa yang ingin kau bicarakan dengannya ? Pentingkah ?"
"Ini sangat penting bagi kami berdua, aku ingin meluruskan sesuatu"
"Aku tidak tau dimana dia sekarang"
"Kau berbohong, kau pasti tau dimana dia, tolong beritau aku"
"Kalau kau menemuinya hanya untuk memakinya maka-"
"Aku mencintainya !"
"Apa ?!"
"Itulah yang ingin aku luruskan saat ini. Maka dari itu, aku mohon kepadamu"
"Hmh, terakhir kali ia bilang, ia akan bekerja di salah satu kafe dekat sekolah"
"Nama cafénya ?"
"Aku tidak bisa memberitaukannya kepadamu, berjuanglah maka kau akan tau rasanya jadi seorang Park Jihoon"
"A- Mm Baiklah. Aku permisi"
Berjuanglah Lai, Aku harap kalian bisa menyelesaikan apa yang selama ini menjadi batu sandungan dari ikatan hati kalian. Kalian saling mencintai, semoga kalian berakhir bahagia
- Woojin
.
.
.
.
.
.
.
.Tuhan, aku mohon pertemukanlah aku dengannya
Masih dihari yang sama, walaupun matahari sudah tidak nampak dan langit menggelap, pun dengan acara kelulusan yang telah usai beberapa jam yang lalu. Guanlin mencari dan tetap mencari apa yang seharusnya ia cari. Tak peduli bagaimana pandangan orang-orang tentang dirinya yang berlari dengan berpakaian formal.
Lusuh, sebenarnya adalah kata yang amat jauh untuk menggambarkan Guanlin di hari-hari biasa. Namun, kali ini kata lusuh mungkin terlalu baik baginya. Tapi sekali lagi ia tidak peduli apapun lagi sekarang.
"Dimana kau Park Jihoon"
Satu kalimat keluar bersamaan dengan keringat di sekujur tubuhnya. Sudah enam belas café ia datangi dan hasilnya nihil. Ada beberapa kafe lagi yang belum ia datangi, mungkin beristirahat sejenak cocok untuk mengisi tenaganya yang sepenuhnya hilang.
Ting
Bunyi khas café berdenting nyaring di telinga Guanlin. Lalu berjalan kearah meja nomor 23 yang kebetulan kosong.
"Apakah ada yang ingin anda pesan, tuan ?"
"Satu cappuccino"
Membuat satu pesanan tanpa melihat ke arah pelayan. Toh, dia bukan orang yang ia cari.
Atau...
Iya ?
Menolehkan kepalanya saat pelayan itu berbalik dan Guanlin sangat kenal tampak belakang dari pelayan itu.
"Park Jihoon !"
"Iya ada ap- Guanlin ?!"
Tanpa membuang waktu, Guanlin segera menghampiri pemuda cantik itu. Tapi...
"M-maafkan aku Guan, sungguh ! Aku tidak tau kalau kau yang duduk disitu. Aku tidak bermaksud mengganggumu atau mengusikmu. Dan dan ak-aku tidak mengikutimu. Aku a- aku... Maafkan aku !"
Baru saja Jihoon ingin berbalik, tapi sepasang lengan berhasil melingkari tubuhnya, memeluknya dengan erat serta sebuah kepala yang ia yakini milik guanlin bersandar apik di bahunya.
"Ji"
Diam
"Jihoon"
Masih diam
"Park Jihoon aku memanggilmu, jawab aku tolong"
"Maaf"
"Tidak Ji, Bukan kau yang seharusnya minta maaf. Aku lah yang berdosa disini. Tolong biarkan aku menjelaskan semuanya kepadamu, tapi sebelumnya dengarkan aku. Aku mencintaimu dari awal aku melihatmu, Ji"
"Apa maksudmu ?"
.
.
.
.
.
.
Tbc.