Kilas Balik (1).

607 106 11
                                    

I wish i could go back that time;  fixing everything has been gone.

"Kamu nggak akan berhasil kalau Kamu cuma anggap Badminton ini sebagai uang, Jo. Badminton itu bukan profesi. Badminton itu jati diri Kamu, sama kaya Kamu anggap kita;  kita bukan hanya temen Kamu tapi juga keluarga untukmu– bagian dari Kamu."

Yang lebih muda mengangguki, mengiyakan segala statmen yang diberikan yang lebih tua. Anthony mengambil gelas yang tergeletak di hadapannya;  menenggak minuman yang sedari tadi terabaikan.

Jonatan tak pernah tak menghiraukan segala ucapan yang dikeluarkan oleh Anthony. Baginya segala pendapat Anthony adalah yang terbaik, segalanya terasa benar di mata Jonatan karena menurutnya hanya Antony yang dapat melihatnya bagai lembaran buku terbuka. Anthony itu layaknya doktrin, seperi guru yang selalu mengajarinya di setiap kesempatan.

Netranya berkedip, menatap kembali Anthony yang masih asyik dengan minumannya. Seperti orang bodoh, dirinya hanya terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lagi-lagi terperangkap dalam satu damba tak berujung. Anthony, lelaki paling sempurna yang ia kenal. "Jadi, selama ini Gue cuma nganggep Badminton itu profesi ya, Kak?"

Anthony menghentikan minumnya, kedua mata bulatnya berkedip lucu, sungguh jernih dengan warna bola mata coklat kelam, tanpa sadar lagi-lagi membuat Jonatan terperanjat dengan kesempurnaan Tuhan yang diberikan kepada Anthony.

Ia mengangguk, "E-eum, bener. Yang Gue lihat sih gitu,  Kamu belum anggap Badminton sebagai bagian dari diri Kamu."

Jonatan melipat tangannya, menopangkan seluruh tubuhnya di atas meja. Kedua matanya tak berkedip menatap lelaki di hadapannya. "Jadi Gue harus gimana Kak? Beri Gue solusi."

Anthony terkekeh, suara Jonatan terkesan putus asa di telinganya. Tapi entah mengapa malah terkesan lucu baginya. Tanpa sadar salah satu tangannya mendarat di atas kepala Jonatan;  mengelusnya dengan lembut seperti biasa.

"Apa yang Kamu suka. Hal apa yang paling kamu suka lakuin dan rasanya mau mati kalau nggak ngelakuin itu?," bahkan pertanyaan biasa dari bibir Anthony rasanya begitu Indah, mengalun seperti satu harmoni yang menenangkan.

Jonatan tampak berpikir, belum ada gambaran yang menyangkut di benaknya mengenai ini. Karena sejujurnya Jonatan tidak pernah melakukan apapun sampai rasanya mau mati. "Berdoa Kak,"

Jawaban singkat dari Jonatan langsung mendapatkan hadiah pukulan dari Anthony. Anthony menggeleng lucu menatap jengah pemuda keturunan Cina itu. "Itu mah memang kewajiban, dodol!."

Jonatan yang mendengar hanya terkekeh, lagi-lagi pesona yang dikeluarkan Anthony bener-benar memabukkan. Bahkan aroma tubuh Anthony terasa manis di penciumannya.

"Kalau mikirin Kakak, bisa nggak dibilang hal yang disuka?"

Anthony memutarkan matanya malas, lagi-lagi pemuda di hadapannya tak pernah serius. "Serius Jojo, atau Gue toyor nih,"

Jonatan tertawa, kepalanya menegak sembari menatap Anthony lebih dalam. Otomatis kepalanya menggeleng;  kali ini tidak setuju dengan kalimat yang dilontarkan pemuda yang lebih kecil darinya itu. "Nggak Kak, Gue serius. Sumpah.  Gue suka mikirin Lo, dan selalu khawatir kalo Lo kenapa-napa gitu. Makanya tiap pagi Gue selalu ngerecokin Lo di Line, ya karena itu."

Anthony mengedipkan kedua matanya. Pernyataan Jonatan terkesan aneh sekaligus terasa benar di pendengarannya. Tapi hati kecilnya berusaha menyangkal. Wajar saja Jonatan bertingkah seperti itu, toh mereka kenal sudah dari kecil jadi hal itu lumrah saja.

"Yang lain?,"

Jonatan menggeleng. "Bahkan Badminton aja nggak ada apa-apanya dibanding Kakak."

Anthony mengambil napas dalam,  kalimat yang sudah tersusun apik di kepala nya bahkan tiba-tiba menguap begitu saja, tergantikan dengan pengakuan kecil dari Jonatan. Pikirannya menganggap ini semua aneh dan menggelikan terlebih yang mengatakan hal seperti itu adalah Jonatan, lelaki yang sudah ia anggap adik sendiri. Katakanlah jika Jonatan pun tak mengerti dengan ini semua, karena Anthony tau betul bagaimana tipikal dan watak Jonatan. Tapi rasanya sulit untuk menyinkronkan dengan hatinya;  entah mengapa rasanya terasa benar.

DOKTRIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang