CHAPTER 1 - FIRE, ICE, AND NOT LIGHTNING

119 1 5
                                    

— "Keseimbangan. Baik dan buruk adalah sisi koin yang sama, yang satu tak akan ada tanpa yang lainnya. Sama seperti pekerjaan ini..."—

"Manjat gunung sambil dengar kuliah filsafat dari si berengsek? Nggak banget, ogaaah!" keluh Fafner. KLIK. Musik rock menggantikan wawancara dari radio di pinggangnya. "Nah, ini baru oke."

Fafner adalah pemuda berbadan cukup kekar dan atletis. Dengan kelopak mata yang separuh mengatup dan alis yang tinggi, sorot matanya jadi terkesan mudah bosan, bahkan malas dan meremehkan. Ia mengenakan rompi tanpa lengan yang terbuka di atas kausnya yang mulai rombeng, sama sekali tidak akan melindungi tubuhnya. Rambut hijau gelapnya meruncing ke depan bagai sebuah tanduk berduri-duri berhiaskan pola petir hitam di atas telinganya, menjadi 'identitas' kebanggaan Fafner.

Ia melanjutkan memanjat. Dengan mantap batuan karang yang curam dan terjal ia taklukkan. Otot lengannya mengeras. Jemarinya mencengkeram bebatuan yang menonjol dengan kuat, sedikit demi sedikit beranjak ke atas, kadang ke samping. Sesekali ia tambatkan pancang logam untuk pengaman, kemudian berhenti sejenak dan bermain air guitar sembari menggerakkan kepala mengikuti irama musik, dan sejenak kemudian melompat ke atas dan menangkap tonjolan batu sebelum ia menancapkan pancang berikutnya. Rutinitas itu berlanjut hingga ia mendapati ceruk tempatnya berpegangan sedikit bersinar.

Fafner tersenyum lebar dan menyeka peluh di wajahnya. Ia tancapkan beberapa pancang, dua untuk pijakan dan sisanya diikat dengan tali yang mengait di pinggangnya hingga ia tak perlu berpegangan lagi. Ia kemudian mencabut pisau yang tersarung di dadanya dan memotong benda yang sedikit bersinar itu, sulfustle. Pucuk pohon kecil yang hanya tumbuh di cangkang carapatoa hidup.

Gunung batu karang yang sedang dipanjat Fafner sebenarnya adalah sejenis kepiting raksasa yang cangkangnya berpotensi menjadi gunung sungguhan jika pemiliknya mati. 'Gunung raksasa berjalan' ini akan melelehkan cairan tubuh yang mirip lava pijar pada retakan cangkangnya, menelan pancang atau sisa pendakian lainnya kemudian mengeras lagi, seperti luka yang menutup tak berbekas. Meski sekarang musim hibernasi carapatoa, mendekati apalagi memanjat kepiting ini sama dengan meludahi wajah bahaya.

Fafner kemudian memasukkan pucuk yang berpendar kekuningan itu kedalam tas. "Sip, bagian yang merepotkan sudah selesai."

Gemuruh petir membelasut di siang yang cerah. Fafner segera mematikan suara radionya dan bersiaga, mencari apa yang sebenarnya yang dia dengar itu. Ia pun turun perlahan ke pijakan yang lebih mantap, terus memperhatikan langit sekitar. Cerah tak berawan. Kali ini petir benar-benar menyambar tepat ke arahnya. Meskipun berhasil mengelak, petir kedua menyambar, disusul yang ketiga. Fafner masih cukup sigap untuk menghindari semuanya.

"Ternyata yang merepotkan justru baru dimulai ya..."gumam Fafner setelah melihat 'awan gelap' yang menjatuhkan petir padanya, seekor nimbusquill.

Elang hitam dengan bentangan sayap 5 meter, bulu serupa awan hitam di leher, dan sangat teritorial. Biasa terbang tinggi di dekat awan, tapi mereka bisa turun ke tempat yang lebih rendah untuk mencari makan maupun sekedar menghangatkan diri di kawah gunung berapi, atau... di atas cangkang carapatoa. Fafner membesarkan suara radionya kembali dan degum intro musik rock membahana.

"Hei ayam! Ayo kita main-main sebentar!" pancing Fafner menyeringai.

Nimbusquill memekik nyaring. Bentangan sayap perkasanya mengintimidasi, dan selang kemudian mengepak menuju ketinggian. Sang elang menarik napas, percikan listrik menari di sekitar lehernya. Petir raksasa pun melesat dari paruhnya. Fafner terbelalak, ia tak bisa menghindari yang satu ini. Ledakan yang panasnya bisa melelehkan besi itu mengepul debu dan menciutkan suara lain. Namun verse musik rock berderam, seakan tak mau kalah dari gemuruh petir. Kepulan debu disingkap oleh Fafner yang tak hangus sedikit pun.

Banyan BowlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang