CHAPTER 3 - THE BALLROOM OF WRITHING DANCERS

50 1 0
                                    

—Desir radio berdesakan dalam gelap demi menuntaskan tugasnya menyampaikan kabar. Sayang yang terdengar hanya suara wanita yang memanggil-manggil pongah tanpa makna, diselingi bunyi statis yang lama-kelamaan menyerupai isak tangis. Bebatuan dan kerikil bergulir saat jemari Eluna menangkap radio yang separuh terkubur di puing tempatnya tengkurap. Menarik benda itu ke mulut saja sudah membuatnya merintih.

"Aduuh... jangan berisik... kepalaku sakit nih..." pinta Eluna pada radio.

"El..! ...mu! ...up!?" Permohonan Eluna tidak ditanggapi. Panjang lebar radio itu melontar potongan suara yang sepertinya rangkaian pertanyaan, tapi semua terlalu samar baginya untuk dijawab. Tubuhnya terasa dingin dan wajah agak lembab. Eluna baru menyadari ia cukup kehilangan darah kala mendapati tangannya sedikit berbau logam setelah menyeka wajah.

"Maaf... nanti kuhubungi..." desah Eluna menjauhkan radio dari wajahnya. Ia terdiam sejenak, kedipan perlahan beberapa kali tetap tidak membiarkannya mengetahui dimana dia sebenarnya. Ia akhirnya mendorong bumi dan berusaha bangkit. Bebatuan bergulir lagi karena tidak stabil, termasuk yang menyangga tangannya hingga ia terperosok lebih jauh hingga sebuah dinding menangkap dahinya. "Aduh!"

Seakan menjawab Eluna mengaduh, lumut yang tumbuh subur di situ berpendar dengan cahaya biru laut, memperlihatkan wajah sebenarnya dari ruangan tempat Eluna berada. Lantai dan dinding batu dengan ceruk-ceruk membentuk pola buatan, yang juga berpendar lemah warna hijau. Lucu, seakan lumut meminjamkan warnanya pada dinding sementara ia mengambil warna lain. Di langit-langit terdapat cekungan yang sepertinya tempat sumber penerangan namun sudah tidak berfungsi lagi; apalagi setelah ia menerobos langit-langit dan menghancurkannya sebagian. Dibalik pintu yang berserakan puing langit-langit sebuah lorong panjang membentang ke kiri dan kanan.

"Ini... bangunan..?" Eluna menganga takjub, dan selang kemudian menyadari bahwa ia sendirian dalam lorong sepi tak dikenal. "...Igniel? Fafner?" panggilnya dengan suara pelan dan bergetar. Hanya gaung samar yang membalas panggilannya. Bulu romanya berdiri dan ia mulai memelas, "Ignieeel... Fafneeer..." Lagi, gaung menjawabnya. Air matanya keluar sedikit. Sebagian dirinya tidak ingin beranjak, sebagian lagi tidak mau berlama-lama sendirian di situ. Ragu-ragu ia menyeret kaki dari ruangan itu. Baru selangkah kakinya berpindah, pendar lumut dan dinding beranjak pergi, digantikan oleh gelap gulita. Eluna langsung terbirit-birit sambil melepas teriakan pilu layaknya hewan yang akan dipotong.—

"Radio Luna sinyalnya jelek ya? Mungkin dia jatuh ke tempat yang lebih dalam... Kalau punya Fafner sih dia lempar waktu buat dinding udara... Yah, kupikir kami bakal mati, tapi ternyata pertahan Fafner masih lumayan... Nggak apa-apa, Cecily, kami memang jatuh lumayan dalam dan dia nggak mengejar sampai kemari, jadi untuk sementara kita aman... Ya, kurasa kita akan bermalam di sini... Hmm? Oh, di sini ada bangunan yang kayaknya sudah tua sekali," jelas Igniel pada radio.

Ringis menahan nyeri masih menyertai Igniel seiring dirinya menyeret langkah menyusuri bangunan itu. "Ah, nggak apa, aku sudah balut lukaku kok." Tangan yang menyusuri dinding batu kusam yang dimakan waktu dan lumut terasa agak hangat, bukan sifat lazim bangunan batu yang ditumbuhi lumut dan terlindung dari paparan cahaya mentari. Ditambah lagi ada sensasi samar menggeliat dengan tempo teratur seperti berdegup. Lumut jenis baru? Rangkaian pertanyaan lain pun mulai menghinggapi benak Igniel, mencoba menerka kisah dibalik keberadaan bangunan itu. Untuk apa bangunan ini ada? Siapa yang membuatnya? "Aku belum pernah lihat yang begini," lanjutnya pada radio lagi.

Selangkah kemudian Igniel tertegun. Pendar cahaya biji lantarai dalam bola kaca yang terikat di tangan tidak cukup kuat untuk menerangi apa yang membentang di hadapannya. "Cecily, aku harus close comm dulu, aku nggak bisa pegang senter sambil pegang radio... dan aku mau masuk lebih dalam lagi. Yah, kalian tidurlah. Sampai besok," ujar Igniel seraya menatap kegelapan lorong tangga menurun yang diapit dua dinding. Pintu batu berlumut yang seharusnya ada di situ patah separuh di bagian bawah, dan bagian atasnya kini hanya menjadi bilah trapesium penghalang jalan. Patahan rapi yang disebabkan oleh suatu alat pemotong, atau makhluk yang mampu memotong batu dengan sangat rapi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Banyan BowlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang