Rules (Teacher x Student)

325 47 7
                                    

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, masih ada satu setengah jam lagi sebelum bel masuk berbunyi. Menarik napas berkali-kali guna mengurangi rasa gugupnya di hari pertamanya mengajar. Ia sudah mengunjungi ruang Kepala Sekolah. Jadi, kini ia menunggu di mejanya sampai bel masuk sekolah berdering.

Okuda Manami, wanita berusia 23 tahun dengan side braid hingga dada. Berkacamata dengan mata violet yang besar. Dihari pertamanya bekerja sebagai guru kimia di tingkat SMA, ia gugup sampai membuat kakinya lemas. Ia bukan wanita yang pandai berkata-kata. Ia hanya menyukai tiap larutan kimia kegemarannya.

Sejujurnya, menjadi guru adalah pekerjaan yang dikiranya mudah. Kalau harus mengesampingkan tentang dirinya yang harus berkomunikasi dengan kelas yang berisi lebih dari dua puluh watak manusia yang berbeda.

Dijadwal yang ada di tangannya, tertulis bahwa ia ditugaskan sebagai wali kelas 3-A. Ia menelan liurnya berat. Ia harus masuk kelas jam setengah sembilan, lalu memulai homeroom dan menentukan petugas kelas. Intinya, ia harus berbicara di depan kelas.

Kegugupannya meningkat. Dalam hati terus berdoa agar murid yang berada dibawah pengawasannya tidak ada yang bermasalah. Bagaimanapun ia masih belum pengalaman dalam mengajar.

Yah, berharap tidak masalah. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya.
.
.
.
Langkah kakinya membawanya berkeliling sekolah, setelah ia selesai menyantap makan siangnya. Matanya melihat sekelilingnya dengan teliti. Mencoba mencari sosok yang sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh murid didikannya.

Saat ia masuk kelas tadi, ada satu murid yang tidak hadir. Siswa lain menyebutkan bahwa yang bersangkutan tengah membolos dan kemungkinan ada di area sepi sekitar sekolah sambil tidur siang. Mereka bilang kalau murid tersebut memang sering membolos, dan hal ini juga yang membuat banyak guru yang menyerah untuk mengkonsultasi murid tersebut.

Murid bermasalah.

Ia menghela napas panjang, mempersiapkan mentalnya untuk berbicara empat mata dengan yang bersangkutan.

Tak lama, langkah kakinya terhenti. Mendapati sosok yang dicarinya tengah tidur di atap sekolah.

Ia mendekati perlahan, lalu berjongkok dan menatap wajah siswa di hadapannya dalam diam. Manami akui, ia cukup tampan. Dengan rambut merah menyala dan kulit pucat dengan rahangnya yang terlihat jelas.

Manami mundur ke belakang saat siswa tersebut terbangun dan mulai duduk. Pandangan keduanya pun bertemu. Manami kembali menelan liurnya.

"S-saya wali kelas anda!"

Keheningan kembali terjadi setelah Manami mengatakan kalimat tersebut dengan nada meninggi. Membuat siswa tersebut menatapnya dengan pandangan terbelalak.

Tawa siswa itu pun pecah, mengundang pandangan bingung dari Manami.

"Kenapa memanggilku dengan sebutan 'anda'? Saya 'kan lebih muda dari anda," katanya kemudian dengan senyum lebar di wajahnya. "Panggil nama saja," lanjutnya.

Manami menatap sekelilinya, gugup harus bereaksi apa atas pernyataan siswa di hadapannya.

"Anda datang untuk memanggil saya 'kan? Karena saya membolos tadi," katanya santai dengan senyum miring. Seakan menantang Manami. Membuat yang bersangkutan enggan untuk menatap matanya langsung.

"B-bagaimana kalau kita buat kesepakatan?" tawar Manami cepat. Siswa dihadapannya berpikir sejenak, lalu kembali menatap Manami. "A-akan kubelikan apapun yang kau mau, kalau absensi dan nilaimu bagus..." lanjutnya cepat.

"Hanya itu? Tidak ada persyaratan masuk peringkat?" tanya siswa itu.

"Selama kau bisa lulus dengan absensi dan nilai bagus, itu cukup."

"Hmm... Baiklah. Tapi, saya tidak memerlukan barang."
.
.
.
Manik violet milik Manami melebar saat melihat salinan peringkat di tangannya. Ia pun menarik ujung pakaian Kanzaki Yukiko -rekan kerja yang duduk di sisi kanannya.

"I-ini benar urutannya?" tanya Manami pada perempuan cantik di kanannya. Yukiko mengangguk sekali dengan senyum simpul.

"Kamu benar-benar hebat 'ya, Okuda-san. Bisa memotivasi Akabane-san sampai seperti itu," puji Yukiko dengan senyum manis. Manami tersenyum canggung mendengar pujian tersebut.

Dalam hati berniat mencari yang bersangkutan seusai jam sekolah.
.
.
.
Suasana canggung di ruang kelas 3-A, hanya ada Manami dengan Akabane Karma yang duduk di seberangnya. Sebuah meja di antara keduanya menjadi perhatian bagi Manani yang tengah menunduk dalam. Ia sengaja memanggil Karma seusai sekolah, untuk membicarakan tentang nilai ujian Karma yang melonjak. Tapi, setelah Karma masuk pikiran Manani mendadak kosong.

"Ah, aku ingin menagih janji Sensei."

Manami spontan mengangkat wajahnya, menatap siswa di hadapannya dengan pandangan terkejut. Sebuah senyum miring di tercetak di wajahnya, membuat Manami menelan liurnya.

"Saya tidak akan minta macam-macam 'kok," ungkapnya dengan senyum lebar. "Bagaimana kalau menjadi teman kencan saja?" lanjutnya masih dengan senyuman khas miliknya.

Mata Manami melebar, lidahnya kelu dan tak tahu harus membalas apa.

M-menjadi teman kencan itu... hal biasa 'ya untuk anak SMA?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Drabble -KarManami Edition-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang