Prolog

577 101 115
                                    

[Prolog]

Selamat Membaca....

****

Pertemuan ini, layaknya gerhana matahari. Berlangsung singkat, namun membekas tak terlupakan

---- Nakeisha Sabina ----

****

Seorang gadis berambut ponytail terduduk lesu di bangku taman. Wajahnya tertekuk kesal, sesekali helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Sembari menunduk gadis itu terus menghentakan kakinya ke tanah. Matanya nanar menatap ke arah kamera DSLR yang dipegangnya. Rasanya ia sekarang ingin menangis.

Baru ingin mencobanya, kamera yang dibawanya tiba-tiba saja mati total. Sontak saja ia terkejut dibuatnya. Seakan tak percaya, beberapa kali gadis itu memencet tombol on berharap kameranya akan nyala kembali. Namun, hasilnya nihil. Tetap saja kameranya menampilkan layar hitam.

Gadis itu tak menyangka akan berujung begini. Perjalanan yang menempuh waktu dua jam harus berakhir sia-sia. Padahal ia sudah rela meluangkan waktunya demi moment ini. Dan hanya karna baterai kamera nya habis semuanya jadi berantakan.

Niat awal ingin memotret beberapa mural di dekat sini harus batal seketika. Bodoh, gadis itu merutuki dirinya sendiri. Dengan cerobohnya ia justru melupakan kamera yang jelas-jelas barang terpenting yang diperlukannya. Andai saja waktu bisa diulang pasti dirinya akan mengecek kondisi kameranya terlebih dahulu.

Alhasil di sinilah dia sekarang, taman bermain anak-anak. Setengah jam duduk dan hanya mengamati bocah-bocah bermain sangat membosankan baginya. Namun, ada kesenangan tersendiri bagi gadis itu ketika melihat tingkah polos yang menjadi ciri khas anak kecil. Tawa riang tanpa beban, ia jadi ingin kembali ke masa itu.

Bosan dengan keadaan, gadis itu mulai bangkit dari posisi duduknya. Tetapi, tak sengaja matanya kemudian menangkap seorang laki- laki yang mengenakan hoodie abu-abu polos tengah memotret ke arah jalanan tak jauh darinya. Walaupun jalanan itu dikelilingi orang-orang yang berlalu-lalang, laki-laki itu terlihat sangat santai memotret dikeramaian.

Manik Keisha tertarik mengikuti setiap rinci yang dilakukannya ketika memotret. Berulang kali laki-laki berperawakan tinggi itu mengarahkan kameranya untuk memotret objek tangkapan yang dilihatnya. Seperti sekarang ia terlihat sedang memotret seorang pria berumur yang mendorong becaknya ditengah keramaian jalanan.

Terlihat dari gayanya memotret, laki-laki itu seperti sudah terbiasa melakukannya. Apakah dia fotografer pro? gadis itu mulai beralibi sendiri. Jiwa kekepoannya menyeruak ingin terbalaskan. Melihatnya dari kejauhan tak lantas membuat dirinya puas. Dunia fotografi selalu mengundang gadis itu tertarik lebih untuk mendalaminya.

Dengan langkah pasti, ia pun perlahan mendekati sosok laki-laki itu. Sambil memegang kameranya, setapak demi setapak kakinya melangkah. Semakin dekat dengan targetnya, gadis itu mulai memelankan langkahnya dengan berjalan mengendap-ngendap.

Dari posisi yang strategis, ia bisa melihat dengan jelas kalau laki-laki itu sedang memeriksa hasil fotonya. "Kurang." Satu kata yang masih bisa didengarnya meskipun samar-samar. Bersembunyi dan mengintip dari balik tiang listrik, ia persis seperti penguntit.

Tampan. Kata itu terlintas diotaknya ketika memandangi paras tegas laki-laki itu. Apalagi ketika ia memotret, aura ketampanannya seakan bertambah kali lipat. Tersadar apa yang dipikirkannya, gadis itu sontak menepuk pipi untuk mengenyahkan pikiran sintingnya dan kembali memusatkan perhatiannya pada gerakan memotret laki-laki itu.

Teka Teki Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang