Berawal dari rasa yang meragu. Isyarat yang diisyaratkan.Tak banyak kata yang meski di artikan. Meski perlu mengartikan suatu kata yang abstrak agar terhindar dari tindakan impulsif. Begitupun perihal rasa yang dijabarkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, banyak menafsirkan kekeliruan meski setengah dari yang terucap, benar.
Aku tidak mau menjadi seseorang yang denial dalam masalah kehidupanku. Namun di sisi lain sulit untuk mengartikan rasa dalam diri, tak ayal jika dia selalu bisa dalam mengekspresikan aku lewat kata-kata.
Ketidakmampuan dalam mengekspresikan rasa, yang ada sama saja memberi jalan kepada mereka untuk mengejudment dan memberi jalan apa yang terucap sebagai kebenaran untuk mereka.
Dia terus saja mengekspresikan apa yang aku pikirkan lewat kata. Dan bisa kubilang dia adalah penerjemah rasaku. Meskipun dia juga pernah salah dalam penilaian rasa.
Saat pemikiran kita satu, tak sulit untuk menerima kebenaran bahwa aku salah, aku benar. Meskipun terkadang menjadi suatu yang irrasional.
Bahasa kasar adalah titik lemahku. Dia tau akan hal itu. telingaku tajam bahkan perasaanku juga. Tapi dalam berimajinasi, mereka justru tak berguna. Baguslah,,, setidaknya aku tidak sesah kata dalam hati.
Aku diam bukan berarti pasif. Aku diam bukan berarti aku berhenti untuk berfikir. Aku terus berfikir tanpa harus kuberitahu tentang itu semua.
Aku punya tujuan, aku punya rencana dan aku juga punya rasa. Aku memiliki cukup banyak waktu untuk terdiam dan merenung tapi tak cukup ruang untuk mengaplikasikannya.
Dia menganggap diam ku sebagai jawaban atas kebingunganku.percayalah itu semua benar. Beginilah jika rasa sulit untuk terbuka.
Aku tidak mau berlebihan dalam menilaimu. Kamu juga tak selamanya benar dalam menilaiku. Kamu bukan Tuhan yang selamanya benar.
Dia menilai diriku sebagai kekuatan akan kebekuan tubuhku. Hingga suatu saat kebekuan berubah menjadi kelenturan yang akan sangat mudah untuk dibentuk dan aku akan hancur.
Berapa detik aku bertindak dia telah mengartikan berbagai macam pandang yang berbeda. Positif yang diberi membuat aku lebih waspada terhadap kenegatifan.
Sebelum aku bersiap kamu telah bersiaga. Aku suka caramu yang bisa membangkitkan kembali rasa yang mati. Meski rasa belum bisa kembali terekpresikan akan sesuatu.
"Yang tau aku adalah aku sendiri" bisakah kalimat ini sebagai senjataku ketika dirimu beragumen soal diriku?? naluriku mengatakan tidak. Ya, memang benar yang tau aku bagaimana adalah aku. Tapi tidak salah jika mereka tau bagaimana aku yang belum aku ketahui. Kesibukan dalam melihat sisi negatif hingga lupa bahwa sisi positif mereka mengetahui lebih baik daripada aku.
Rasaku yang meragu dia datang untuk menambahi bumbu meragu menjadi merasakan rasa rasaku. Tenanglah aku bisa merasa rasaku lebih baik meski kesulitan.
Faktor apa yang mendasari itu semua? atau kah id, ego atau superego?
Ngomong apa sih gue.
YOU ARE READING
BUNGKAM
Short StoryMalu mengungkapkan segala sesuatu yang terjadi. Bukan kepadamu. Tapi, malu mengakui pada diri sendiri. Dalam hidup sebaiknya kita berterus terang. Sisi gelap sekalipun.