dowoon sama wonpil nggak jadi pergi.
mereka gue paksa buat makan masakan gue di rumah gue yang ㅡsedikitㅡ angker ini.
bisa dilihat dowoon yang sedikit merinding, sekali-kali dia ngusap lehernya, dan wonpil yang udah keringet dingin, kakinya gerak mulu terus matanya nggak berhenti kedip.
"cy, rumah lo ... serem juga ya?" celetuk dowoon.
gue yang lagi masak pun cuma cengengesan. lha wong gimana ya, rumah zaman belanda mana ada sih yang suci.
wonpil berdesis, "bersyukur kamu nggak bisa liat kayak aku."
dowoon berdecak, makin gelisah.
"penakut, diejek tuh sama cewek di belakangmu," wonpil menaikan alisnya.
dowoon rasanya pengen kencing di celana.
gue cepet cepet nanggepin, "jangan ngasal pil, dia baik parah. namanya marry. kalau nggak ada kalian, yang bantuin gue masak juga dia."
"non mau saya bantu?"
dari atas sampe bawah tubuh wonpil mati rasa. "ya gusti nakutin," gumam wonpil sambil nyembunyiin wajahnya pake telapak tangan.
dowoon makin kebelet pipis. "paan sih lo," kata dia sambil nutup mata.
"nggak usah, mbak. ini udah selesai kok," jawab gue seraya nyanjiin tiga porsi nasi goreng.
"yaudah non, saya ke atas ya?"
gue ngangguk. terus dia terbang ke atas.
"nih makan." tiga piring gue letakkan di atas meja bikin dowoon sama wonpil sejenak lupain kehorroran rumah gue.
"enak banget jancok!" celetuk dowoon setelah menyuapkan satu sendok makan.
gue sama wonpil langsung melotot.
