Pagi berganti sore, matahari mulai terbenam di ufuk barat. Udara dingin menyeruak masuk pada sela - sela jendela kamar perempuan itu. Tatapannya terpaku pada jendela seberang yang menampilkan seorang cowok dengan gitar di pangkuannya. Tangannya memetik senar gitar dengan lihai.
Pulpen yang di genggam perempuan itu berhenti bergerak sejak 10 menit yang lalu. Lagi dan lagi tatapannya tak ter-alihkan. Menatap dan menatap.
Namun semuanya harus berakhir ketika cowok tersebut menolehkan kepalanya. Menabrakkan tatapan dengan perempuan itu.
mata kelamnya ...
Sedetik kemudian perempuan itu memutuskan tatapannya. Ia gelagapan ketika terpergok secara terang - terangan. Aihh... bagaimana bisa. Seharusnya aku tidak perlu menatap kembali.
Perempuan itu kembali menggerakkan pulpennya dengan kaku. Lima menit berlalu, namun perempuan itu masih merasa bahwa ada yang menatapnya dengan lekat.
Dengan terpaksa ia menengokkan kepalanya kembali. Semoga saja bukan cowok itu yang sedang menatapnya, bahkan hantu pun tak apa asalkan bukan dia. Tapi ketika sudah menoleh, harapan hanyalah harapan. Cowok itu masih menatapnya dengan intens.
Deg... deg... deg...
Tangan cowok itu terangkat pelan, melambai kepadanya, sudut bibirnya tertarik manis.
Kenapa...?
KAMU SEDANG MEMBACA
KRITIS
Teen FictionAku terima kamu sebagai seorang cowok tanpa kehidupan Aku terima kamu sebagai seorang cowok penuh rahasia Dan Aku terima kamu sebagai seorang cowok jutek tingkat dewa Tetapi, aku tidak menerima kamu di saat memilih kembali dengannya. Anggap saja aku...