PROLOG

92.1K 9.1K 1.1K
                                    

Hi PARA GANJEN,


SAYA REPOST ULANG SEMUANYA YA :)





Untuk yang membaca cerita ini, ketahuilah, rakyat Jakarta pernah merasakan pahitnya pengaturan lalu lintas mobil pribadi. Dari mulai 3in1, tiga orang dalam satu mobil, yang membuat masyarakat menawarkan bangku tebengan. Hingga ganjil genap, kebijakan pemilahan plat mobil sesuai tanggal ganjil atau genap, yang membuat para pengemudi di Jakarta harus putar otak bagaimana melewati hari selanjutnya.


***

"Pembicaraan penting pasangan Jakarta seringkali terjadi di kendaraan."

—Pasangan ganjil genap











Aku memasuki mobil sambil tersenyum tipis.

"Thanks for picking me up," kataku pada Bara, untuk yang kesekian juta kalinya. Hiperbolis? Tentu saja tidak. Bara telah mengisi hari-hariku selama tiga belas tahun.

Kuperhatikan Bara yang hanya merespons dengan tersenyum kecut sebelum menekan pedal gas dalam diam. Mungkin dia lelah menghadapi jalanan Jakarta malam ini. Hari ini hari ganjil, jatahnya Bara yang menjemputku. Kalau genap, aku yang akan menjemput Bara. Jakarta terlalu menuntut. Kebijakan ganjil genap sungguh membuat sulit para pencari nafkah di Jakarta, terutama ketika transportasi umum belum sepenuhnya rampung alias jalur kereta yang masih belum terintegrasi di mana-mana dan jalur bus yang tak sepenuhnya lancar karena masih bercampur dengan kemacetan mobil dan motor. Kami berdua bukan penduduk yang tinggal di sekitar stasiun MRT Jakarta Selatan. Aku tinggal di Jakarta Pusat, dan Bara tinggal di Rawamangun, sedangkan kantor kami di Jalan Sudirman. Paham dong kenapa kami harus berjibaku dengan ganjil-genap?

Terakhir, ketika Bara tidak bisa menjemput karena ada rapat mendadak di kantor, aku terpaksa menunggu satu jam lebih di halte TransJakarta. Kombinasi terlalu banyak penumpang dan terlalu sedikit bus yang datang menjadi penyebab terjadinya penumpukan penumpang. Belum lagi hujan yang bagai kutukan, membuat segalanya lebih macet tak bergerak. Jakarta yang menuntut kesabaran. Tapi, tentu tidak sebanding dengan kesabaran yang kubutuhkan untuk menghadapi Bara.

"Kamu capek banget kayaknya?" Aku mengamati wajah Bara yang tampak seperti menahan emosi yang sulit kulukiskan.

"Nggak apa-apa," jawab Bara singkat, seperti biasa.

Ini adalah tahun ketiga belas kami berpacaran. Dari sekian banyak laki-laki yang mengejar saat SMA dulu, aku memilih Bara sebagai pacar—hingga saat ini. Bara yang saat itu tampan, baik, dan pintar merupakan idola teman-temanku. Tidak ada yang lebih sempurna dibandingkan Bara. 'Gala ketimpa galaksi', begitu kata teman-teman sekolahku ketika mengetahui Bara memintaku menjadi pacarnya. Gala yang biasa-biasa saja—bukan anggota geng, bukan yang paling cantik, dan sama sekali tidak populer.

Aku masih ingat dengan jelas momen spesial ketika aku membeli bakso setelah kegiatan ekstrakurikuler. Hanya Bara dan aku yang tengah mengantre di pedagang bakso sore itu. Bara terlihat lebih cocok disebut sebagai model dibandingkan anak SMA biasa. Ganteng, tinggi, putih, hidung mancung, dan rambut tebal dengan poni lempar kiri. Sempurna! Dengan seragam putih abu-abu, aku dan Bara sama-sama menjadi pelanggan terakhir Mang Udin hari itu.

"Bakso urat, Mang," pesan Bara yang saat itu berdiri di depanku.

Mang Udin dengan sigap meracik semangkuk untuk Bara sambil bertanya padaku, "Neng mau pesan apa?"

"Bakso urat, Mang." Aku menjawab kikuk sambil berusaha untuk tidak melirik ke arah Bara, si siswa tampan yang populer di sekolah, yang berdiri di sampingku.

"Yah, habis, Neng. Cuma tinggal satu uratnya," kata Mang Udin mengaduk-aduk isi panci bakso. "Tinggal bakso kecil."

"Oh," desahku sedikit kecewa, "yaudah nggak apa-apa."

Ganjil-Genap [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang