"Sahabat adalah pertolongan pertama pada saat putus cinta."
—Jomblo yang tidak ingin sendiri
"Gal. Udah mau tutup, balik yuk." Nandi membujukku dari samping.
Air mataku menetes satu lagi. Aku sudah tidak tahu ini jam berapa. Pegawai tea house untungnya sudah sangat mengenalku jadi mereka tidak ada yang berani mengusir.
"Babe, yuk, udah jam sembilan. Ya, Gal?" Nandi mengambil tanganku di meja.
"Tutupnya kan jam sepuluh, Nan." Aku memelas menatap Nadi dengan air mata yang semakin deras.
"Hamdallah masih bisa nyambung otaknya." Dia mengelus-elus dada, sarkastik.
Aku menangis. Tidak ada semangat untuk bercanda sama sekali. Apa yang baru terjadi dengan Bara adalah tragedi. Aku telah menyia-nyiakan tiga belas tahun hidupku.
"Mas, masih bisa last order, kan?" Nandi memanggil pelayan yang langsung menjawab dengan anggukan.
Pelayan hadir dengan buku menu. Nandi menunjuk menu kesukaannya.
"Mas, maaf, Mbak Gala mau dipesankan makan malam sekalian nggak? Terakhir makan tadi siang soalnya." Pelayan itu memberikan informasi.
Nandi melihat buku menu lagi,"Gal. Malu lho lama di sini nggak pesan banyak."
Aku diam, tidak menyahut pancingan obrolan Nandi. Nandi melirikku sedikit kemudian menyerah dan memesankan untukku.
"Untuk Gala white tea yang dari Tibet aja, Mas. Makanannya mushroom soup. Terima kasih ya," pesan Nandi kemudian menyerahkan buku menu pada pelayan.
Pelayan tersenyum kemudian pergi menjauh dari meja.
"Terus tadi Bara balik duluan, udah bayar kan?" tanya Nandi.
"Kayaknya nggak deh," jawabku dengan mata menerawang.
"Terus masih lo tangisin?" Nandi menggeleng-geleng nggak percaya.
"Iya, gue tahu gue bego." Air mataku jatuh satu.
"Nangis lagi... Capek gue," dengus Nandi.
Aku menatapnya tajam.
"Apa?" Nandi langsung serius menatapku.
"Lo dukun ya?"
"Hah?" Nandi tampak bingung, keningnya mengernyit.
"Lo ngaku aja sama gue. Lo dukun, atau lo pernah mergokin Bara sampai tahu dari dua tahun lalu kalau Bara nggak bakal nikahin gue?" Aku menjelaskan panjang lebar.
"Anjir, gue pikir apaan." Nandi tampak tenang lagi.
"Ya lo tahu dari mana? Tadi Bara bilang dia ragu sama gue dari dua tahun lalu!" Aku menuntut.
"Insting sebagai cowok," elak Nandi. Pasti dia menyembunyikan sesuatu.
"NANDI!" Aku melemparnya dengan serbet.
"Guys, guys, aduh!" Sydney datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung duduk di sampingku.
"Anak lo udah tidur?" Nandi nyengir melihat Sydney.
"Begitu dia tidur, gue langsung ke sini. Kucel banget kan gue?" Sydney mengelap keningnya yang sama sekali tidak berkeringat. Cerminnya Sydney mungkin buram sampai dia melihat dirinya sendiri kusam.
"Lo ngapain ke sini?" tanyaku bingung.
Sydney Deyanira dan Nandi adalah sahabatku dari SMA. Tidak ada lagi yang terdekat selain mereka di Jakarta ini. Ada satu, tapi domisilinya di Kuala Lumpur. Sydney, sejak menikah dan punya anak, menjadi sibuk mengurusi kehidupannya sendiri. Makanya aku lebih sering bergantung pada Nandi.
"Nandi telepon gue. Katanya lo histeris. Tapi gue baru bisa datang sekarang. Maaf ya, Gal." Sydney memelas memohon maaf.
"Iya gue juga tadi di Bandung sama teman-teman gue. Sampai gue ke Jakarta lagi. Coba, kurang sayang apa gue sama lo..." Nandi melihatku datar yang artinya 'PERTEMANAN INI BANYAK MENUNTUT!'. Sialan!
Aku mengembuskan napas lelah. "Gue beneran diputusin. Tiga belas tahun gue sia-sia."
"Ini gimana sih ceritanya?" Sydney yang belum tahu ceritanya kebingungan.
"Gala itu sebenarnya diputusin sama Bara dari minggu lalu, Babe," Nandi menjelaskan dengan sabra. "Terus teman lo ini mau nuntut penjelasan kenapa diputusin. Selebihnya yang gue tahu hanya histeria semata."
"Intinya Bara bilang, dia udah nggak yakin sama gue dari dua tahun lalu. Pertanyaannya, kenapa dua tahun lalu coba? Gue ngapain sih dua tahun lalu?" Aku mulai menangis lagi, sembari otakku berusaha mengingat-ingat.
Sydney meraih bahuku dan mengelus-elusnya.
"Oh!" Sydney berkata tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya, begitu juga dengan Nandi.
"Dua tahun lalu kan gue nikah. Jadi di acara nikahan gue, waktu after party, orang-orang pada ngeledekin Bara. Lo lagi ke toilet atau istirahat di kamar hotel ya, Gal—gue lupa. Lo kan paling nggak suka after party." Sydney mengingat-ingat.
Tangisanku terhenti. Aku mulai tertarik dengan cerita Sydney. "Terus?"
"Terus ya itu, dia dikomentarin. 'Wah, gila, lo kapan Bar sama Gala? Udah sebelas tahun.' Standar lah," lanjut Sydney.
"Terus?" Aku semakin penasaran.
"Bara ngomong, 'Belum tentu juga sama Gala.' Gitu. Seingat gue sih dulu gitu ya, Nan?" Sydney memastikannya ke Nandi.
"Iya, kira-kira gitu. Untung nggak gue pukul tuh orang." Nandi tampak kesal.
"Terus selama dua tahun, lo merahasiakan ini semua dari gue? Bara ke gue juga selama dua tahun ini masih bergantung banget lho ke gue. Nggak ada apa-apa. Kok tiba-tiba jadi begini?" tanyaku sedih.
"Ya mungkin lo-nya terlalu mandiri, jadi laki lo nggak," komentar Nandi pedas.
"Gal, lo itu segitu cintanya sama Bara. Ibarat kalau kiamat cuma boleh menyelamatkan tiga orang, gue yakin yang lo selametin itu orangtua lo sama Bara, bukan Gisha." Sydney berusaha berujar lembut.
"Nggak gitu kali, Syd," sanggahku ketus.
"Kami berdua selama ini udah coba menyadarkan lo, Gal. Tapi Bara juga ke lo baik-baik aja. Masa gue sama Sydney jadi setannya? Yang ada lo malah benci sama kita," Nandi beralasan.
"Tapi gue bisa tahu ini dua tahun lebih awal." Aku memijit kepala yang makin pusing.
"Dan nggak akan mengubah apa-apa. Gue yakin yang ada lo juga makin narik Bara. Lo anggap itu bercanda. This is the time, Gal." Nandi berusaha membuatku realistis.
"Terus gue mesti cari pengganti Bara di mana? Tahun depan umur gue tiga puluh tahun. Awal tahun pula. Lo pada nggak kasihan sama gue? Kalian tahu kan teman-teman kita udah banyak yang nikah? Senior kita apalagi. Terus gue sama siapa? Teman gue aja cuma kalian berdua." Aku merengek dan Sydney dengan sigap memelukku.
"Kita cari bareng-bareng, Gal. Dan selama lo belum nemu, kita nemenin lo." Sydney mengelus-elus punggungku.
"Ya tapi lo aja punya anak, Syd." Aku menolak, sadar Sydney tidak mungkin bisa melakukannya.
"Nandi bisa." Sydney melemparkan tugasnya pada Nandi.
Nandi melongo, ingin melawan tapi dia tetap diam.
"Nan, lo nggak bisa convert? Minimal kalau gue nggak nemu siapa-siapa, gue sama lo gitu?" Aku mengelap ingus.
Nandi menyumpahiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganjil-Genap [Published]
General FictionA story by Almira Bastari Gala dan Bara putus setelah berpacaran selama tiga belas tahun. Di tengah - tengah kebijakan lalu lintas ibukota, ganjil genap, Gala dan Bara yang saling melengkapi, kini harus berjalan masing - masing. Bukan hanya harus be...