1. Cobaan

50.8K 8K 577
                                    

"Jomblo menjelang tiga puluh tahun dan tinggal di Indonesia adalah ujian hidup."

—Jomblo di akhir 20-an











Aku menatap kosong layar komputer yang belum kunyalakan. Meski cungpret—kacung kampret— berdarah-darah di kehidupan personal, cungpret tetap punya tagihan-tagihan yang harus dibayar. Akhir minggu kemarin membuatku tertekan. Aku berbohong dengan orang rumah kalau aku tidak enak badan. Semakin lama di rumah, hidupku rasanya juga makin runyam. Sulit rasanya bersedih di rumah, karena mama, papa, atau Gisha, adik semata wayangku, sangat mungkin mengendus apa yang sebenarnya terjadi. Tidak akan pernah keluar dari mulut ini kalau Bara dan aku putus! Tidak akan! Terutama setelah tiga belas tahun kebersamaan kami.

Hari ini tanggal ganjil. Aku menyetir dan berputar arah. Motor-motor yang banyak dan tanpa merasa bersalah menyenggol spionku berkali-kali. Seperti Bara. Hidupnya tampak baik-baik saja setelah membuatku hancur lebur. Tidak ada pesan dan telepon sama sekali dari Bara pada akhir minggu kemarin. Semrawut ya dunia ini. Jadi pengin hidup lebih lama karena nggak kebayang neraka sekacau apa!

Dengan malas kunyalakan komputer. Aku mengecek kalender rapat—tidak ada yang berarti. Hanya penandatanganan perjanjian kredit dengan debitur. Setidaknya aku masih bisa bernapas hingga bulan depan dan menjernihkan pikiran.

Aku bersandar di kursi lalu pikiranku melayang. Apa aku telah menjadi manusia yang menyebalkan dalam waktu tiga belas tahun? Apakah aku menjadi manusia dengan kualitas fisik yang mengecewakan? Tapi tentu tidak. Kalau mau dibandingkan dengan beberapa tahun silam, tampilanku jauh lebih baik dengan pilates, les makeup, bulu mata di curly-up dan retouch tiap dua bulan, dan catokan rambut seharga jutaan rupiah. Aku tidak kalah dari wanita-wanita Jakarta lain yang Instagram-nya bagai influencer—meski pengikutku level orang yang baru buka Instagram.

"Buset, sakit apa lo?" tanya Nandi ketika meletakkan tasnya di bangku di sebelahku.

"Gue diputusin sama Bara." Suaraku kecil, serak.

"No, seriously?" Nandi melotot.

Aku menatapnya putus asa. "Serius gue. Gue pikir gue mau mati sih."

"Ah, si anjir lebay." Nandi kemudian menarik kursinya mendekatiku.

Perkenalkan, ini Nandito Rishaan, cowok, teman sebangkuku waktu SMA. Perawakannya tinggi besar dengan tinggi 188 cm dan berat 95 kg. Mukanya cakep khas anak baik-baik dengan kulit cokelat muda. Rambutnya dipotong cepak saja. Dia lebih muda satu tahun daripada aku, dan beda 'cross currency' alias beda agama denganku. Kami tidak pernah terlibat affair, apalagi cinta-cintaan. Jadi, cerita cinta berakhir dengan sahabat sendiri itu bukan jenis cinta yang dapat kumiliki. Aku agak yakin itu cerita legenda. Soalnya, kalau sahabat kita sempurna, masa nggak naksir dari dulu-dulu? Bilang aja dulu sahabatnya itu bukan tipe yang akan dikencani, tapi membaik kualitasnya seiring berjalannya waktu.

Meski demikian, orang yang baru kenal kami berdua pasti akan berpikir kalau kami ada apa-apanya. Ini semua berkat geng persahabatan kami sejak SMA. Aku, Nandi, dan Sydney. Kami bertiga seringkali memanggil 'babe' satu sama lain. Bukan karena Nandi banci—Nandi punya pacar kok. Tapi lebih ke arah, Nandi ketularan panggilan aku dan Sydney. Sama seperti bicara 'bro', 'sist', bedanya kami menggunakan 'babe'.

"Diputusinnya kenapa, Babe?" Nandi bertanya serius.

"Bara bilang dia nggak bisa kasih tahu karena takut nyakitin gue. Hampir gue jerit. Memangnya dia nggak nyakitin gue karena dia nggak kasih tahu," jawabku lirih. Mau emosi pun aku sudah tidak ada energi.

Nandi mengernyitkan kening. "Terus lo nggak ngomong gitu?"

"Ngomong. Cuma dia antara pura-pura budek atau nggak mau nanggepin." Aku mengeluh putus asa.

Ganjil-Genap [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang