Memantaskan Untuk Sebuah Impian
"Nduk, piye kabare kuliahmu di Jakarta?" bapak membuka percakapan kami sore ini. Menemani bapak melepas penat setelah seharian bermandi keringat di ladang kampung. Dudukberselonjordi teras rumah joglo kami selepas maghrib. Menikmati bongkahan hangat singkong rebus dan segelas teh tubruk membuatku merasa nyaman untuk menghirup serpihanserpihan kenangan di kampung yang lama tertinggal dalam anganku.
"Alhamdulillah, baik Pak", aku menjawab dengan mantab. "Saya sedang mempersiapkan ujian akhir sebelum bisa dinyatakan lulus Pak", lanjutku. Menyeruput teh tanpa gula dengan daun teh yang masih mengambang di permukaannya seolah memompakan semangat baru atas hari-hari yang melelahkan akhir-akhir ini.
"Nduk, apa rencanamu setelah lulus kuliahmu?", tanya bapak seraya tangannya membelai rambutku yang tergerai. Dalam temaran bohlam 5 watt di teras rumah kami ini, aku menunduk. "Apapun yang kau rencanakan, selama itu baik buatmu, Bapak setuju nduk".
Maka mengalirlah seluruh rangkaian mimpi yang selama ini aku rajut dalam balutan asa yang membuncah selaksa pendar-pendar cahaya lampu yang menembus pekatnya cakrawala. Aku ingin segera lulus kuliah dengan predikatcum laude, mendapatkan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang memadai, mendapatkan suami yang bertanggung jawab, dan memperoleh keturunan yang menenteramkan. Aku ingin membahagiakan Bapak dan berkesempatan menemani Bapak sampai penghujung usianya, jika memungkinkan aku ingin mengenyam kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi di luar sana. Memberikan manfaat yang sedemikian rupa untuk lingkungan sekitar. Semoga Alloh ridho dengan semua mimpiku.
"Nduk, Bapak bangga dengan segala rencana yang kau punya", Bapak menanggagapi lariklarik mimpi yang aku kisahkan. "Tapi apa kamu sudah melakukan usaha yang sepadan untuk memantaskan dirimu agar layak dengan mimpi-mimpimu tadi?", tanya Bapak kemudian. Aku menunduk dalam keheningan. Hanya suara serangga malam yang riuh dibalik semak-semak di halaman rumah kami.
"Nduk, semua orang boleh bermimpi. Tidak ada yang membatasi seseorang untuk bermimpi. Tetapi sayangnya tidak semua orang sadar bahwa mereka wajib berusaha memantaskan diri mereka untuk setiap mimpinya tadi", Bapak kembali menegaskan.
***
Maka dalam balutan malam yang kian sempurna, aku mengurai seluruh mimpi yang telah aku rangkai. Bingkai-bingkai yang menyimpul dalam pusaran asa berserak dalam detak putaran waktu yang berbalik. Sebuah pertanyaan mendasar menyeruak diantara puing-puing cerita:
"Apakah aku sudah layak untuk semua mimpiku?" "Apakah aku pantas untuk semua mimpi-mimpu tersebut?" "Apa yang telah aku lakukan untuk membuat diriku layak dan pantas atas segala mimpiku?"
Perlahan purnama sempurna menjamah gulita dalam cakrawala lepas yang membentang, aku mencoba untuk mulai belajar. Mencoba untuk memulai. Mencoba untuk berusaha. Agar aku dianggap layak oleh-Nya atas semua mimpi yang tersemai dalam bilik-bilik hati yang tersembunyi. Karena hanya aku dan Dia yang tahu apa yang selalu berdesir dalam lipatan-lipatan ingatan. Rabb, ijinkan aku.
YOU ARE READING
Aku Ingin Bercerita
Storie brevidan kepadamu aku akan menceritakan sepenggal perjalanan yang telah aku lewati, hingga aku sampai di hadapanmu, saat ini....