Hujan rintik-rintik menyambut senja saat kami tiba di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Tepatnya di desa Patak Banten, salah satu titik pendakian menuju puncak Gunung Prau dimulai.
Sebelum memulai pendakian, kami diwajibkan registrasi telebih dahulu dan membayar tiket masuk. Setelah itu kami berdoa menurut kepercayaan kami masing-masing sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak setinggi 2565 meter di atas permukaan laut tersebut.
Setelah setengah perjalanan, kakiku terasa sangat sakit seperti akan terlepas dari sendinya, akupun mengusulkan untuk beristirahat sejenak kepada Ferdi dan Vincent.
"Aku butuh istirahat, kakiku sakit sekali. Sepertinya kakiku juga lecet," keluhku.
Sebenarnya sejak kakiku mulai terasa sakit, aku memang sudah mengeluhkan banyak hal. Tapi walaupun begitu, tidak membuat Ferdi dan Vincent kesal, padahal aku sebenarnya merasa tidak enak dengan mereka.
"Tasmu aku saja yang bawa, sepertinya sangat berat. Kamu membawa batu atau apa nona?"
"Jangan begitu dong Fer, kamu lupa kamu menitipkan sebagian barang-barangmu di tasku tuan?"
Dan perdebatan antara aku dan Ferdi pun berakhir menjadi canda-tawa, dengan begitu lelahku pun tidak terlalu terasa. Setelah itu kami melanjutkan pendakian kami kembali.
Kami sampai di puncak dalam keadaan yang sudah gelap dan hanya diterangi oleh cahaya bulan dan bintang serta sedikit cahaya dari senter yang kami bawa. Kemudian yang pertama kami lakukan adalah membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh kami yang sedaritadi kedinginan. Setelah itu kami mendirikan tenda, lalu aku memasak mie instan dan teh hangat untuk kami bertiga.
Kami bertiga memandang langit yang teramat luas dan indah, diterangi cahaya bulan yang ditemani oleh bintang-bintang sekelilingnya. Sungguh, baru sekarang aku melihat langit yang indah secara langsung. Tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata, terlalu indah, aku takut gagal menggambarkan lukisan yang Allah lukiskan di langit malam, kalian memang harus melihatnya dengan mata kepala kalian sendiri. Biasanya aku hanya melihat langit-langit yang indah melalui internet, seperti langit-langit di kutub yang penuh dengan aurora dan langit-langit di belahan bumi lainnya, karena aku tidak penah berpikir langit Indonesia akan seindah ini, jika kuingat lagi betapa banyaknya gedung-gedung pencakar langit yang didirikan, bangunan-bangunan beton, polusi udara yang semakin lama semakin mencekik, kukira itu semua cukup membuat bintang-bintang enggan bermunculan di langit Indonesia.
Tak terasa malam semakin larut, suhu di puncak Gunung Prau ini pun terasa semakin rendah dan menyesakkan. Tubuhku gemetar kedinginan, bibirku sudah memucat, aku tak bisa lagi merasakan telapak tanganku, kakikupun sepertinya sudah mati rasa, mataku sangat lelah dan mengantuk. Tapi aku masih bisa melihat Ferdi dan Vincent yang tiba-tiba saja panik, dan aku tidak tahu kenapa mereka panik, 'apa ada hewan buas,?' batinku.
YOU ARE READING
Hipotermia di Gunung Prau
Random3 orang sahabat yang saling menjaga. Dah itu aje deskripsinya, selamat dibaca, itupun kalo mau. Kalo engga mah yaudah, gak gimana-gimana hehe. Ini sekedar cerpen, yang kemarin gue masukin ke lomba gitu. Eh taunya gak lolos peringkat 100 acan hehe.